Sunday, June 20, 2010

Persembahan Terakhir

Pada suatu hari di daerah Bandung bagian selatan, seorang ibu tua dengan berjalan terseok-seok, membawa tubuhnya yang ringkih karena penyakit reumatik yang dideritanya bertahun-tahun ….
Seperti hari-hari sebelumnya selama belasan tahun berkeliling dari perumahan satu ke perumahan yang lain, kadang-kadang menyusuri pemukiman kumuh melewati gang-gang sempit menjual makanan hasil olahannya sendiri ‘Gemblong’ namanya makanan daerah terbuat dari tepung ketan hitam dibalut gula merah, yang disimpan di dalam sebuah baskom kaleng berukuran besar.
Dibawanya diatas kepalanya yang beralas kain sambil meneriakkan dagangannya di setiapkali melewati rumah-rumah atau tempat-tempat dimana terdapat ramai orang.


Kulitnya yang berkerut dimakan usia dan menghitam terbakar matahari setiap hari, menunjukkan ketabahannya menjalani taqdir yang dikehendaki Tuhannya.
Hidup sebatangkara di rumah kontrakan sangat sederhana yang ia bayar sendiri dari penghasilannya berjualan gemblong. Anak laki-laki satu-satunya sudah sangat lama tak pernah lagi menjenguknya atau sekedar menanyakan kabarnya sejak meninggalkannya merantau ke Papua bertahun-tahun yang lalu. Sedang seorang anak perempuannya, walau tinggal sekota tidak dapat menolongnya karena kerasnya kehidupan yang menghimpitnya.
Maka tinggallah sang Ibu sebatangkara di tengah ganasnya persaingan usaha mencari nafkah untuk kehidupan. Bertahan dengan penyakit yang ia derita karena tak sanggup untuk membayar dokter untuk berobat,walau jarak rumah kontraknnya ke puskesmas hanyalah tujuhpuluh langkah saja.



Hari itu hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya, matahari tepat di atas ubun-ubunnya.
Panas menyengat kulit tangannya yang memegang erat dagangannya dan menempel di pinggangnya. Gemblong jualannya masih tersisa separuhnya. Langkahnya gontai…semakin lama semakin lemah,hingga terduduk ia di pelataran masjid besar di sebuah perumahan. Dibelinya segelas minuman mineral yang terasa kesat di lidah tuanya.
Dalam sisa tenaganya, sang ibu tua penjual gemblong itu melangkah perlahan mengambil air wudlunya, perutnya belumlah terisi nasi sejak pagi, hanya sebuah gorengan dan lontong dari warung langganannya yang sanggup ia beli. Kepalanya sedikit pusing,sesuatu hal yang sudah biasa ia rasakan sejak muda, maka tak ia hiraukan. Tetapi tubuhnya semakin lemah saja,maka sembahyang pun ia lakukan sambil terduduk di sudut belakang masjid.



Tak seorang pun jama’ah masjid yang memperhatikan perempuan itu, kecuali seorang bapak tua penjaga mesjid yang setiap hari merawat dan membersihkan masjid  *Marbot Masjid*.  Ia sudah sangat mengenal perempuan tua itu karena setiap dzuhur ia selalu shalat dan beristirahat di tempat itu.
Bapak marbot tersebut memperhatikan sang ibu tua yang masih terduduk bersandar di dinding masjid. Mukenanya belumlah ia lepaskan,namun saat ibu penjual gemblong itu melihat bapak marbot sedang melihat ke arahnya, dengan lemah ia berusaha melambaikan tangannya meminta supaya dia mendekat. Rupanya bapak marbot itu menangkap maksudnya,maka diapun mendekat.



Tak lama setelah bapak marbot itu berada dihadapannya,si ibu berkata kepadanya:

”Bapak yang baik, bolehkah saya meminta tolong Bapak sekali ini saja?”. Bapak penjaga masjid itu terdiam, ia mengira si ibu penjual ini sedang tidak enak badan :

”Baik Ibu, Ibu ada keperluan apa?”
Ibu tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik mukenanya, selembar uang Lima Ribu Rupiah, lalu diserahkannya kepada bapak itu dan berkata:

”Saya menitipkan kepada Bapak uang ini untuk Sari di kampung Baru dekat sini,bilang sama dia jualan saya belum habis terjual,saya cuma bisa kasih segini. Tolong ya pak,dia butuh uang ini”.



Bapak marbot menerima selembar uang Lima Ribu rupiah itu dengan hati bertanya-tanya, namun saat matanya menoleh kepada sang ibu tua itu hendak bertanya lebih lanjut , sang ibu sudah terpejam matanya, nafasnya tiada lagi.
 Innalillaahi wa innaailaihi raaji’uun…sang penjual sederhana tersebut rupanya telah wafat,  masih terbungkus pakaian sembahyangnya.
Gemparlah seisi masjid , demikian pula warga perumahan itu. Sang penjual tak memiliki sanak saudara, maka hanya warga perumahan itulah yang mengurus jenazahnya.



Tiga hari setelah wafatnya Ibu penjual gemblong itu, bapak marbot mencoba melaksanakan wasiatnya. Ia pergi menuju tempat yang ditunjukkan sang penjual. Seharian ia mencari, bertanya kepada orang-orang dimanakah wanita bernama Sari itu tinggal.
Akhirnya,setelah pencarian yang melelahkan bertemulah ia dengan wanita yang dimaksud.
Berceritalah bapak penjaga masjid itu kepada Sari pertemuan terakhirnya dengan Ibu penjual gemblong itu di masjid. Maka meledaklah tangis wanita yang bernama Sari itu. Marbot bertanya dengan hati-hati:


”Maaf Nak, apakah Ibu itu ibumu?”
Sari kembali tersedu, namun ia menggelengkan kepalanya lalu ia berkata:

” Bukan pak, bukan ibu kandung saya, tapi saya menganggap beliau ibu saya sendiri. Kami sama-sama hidup dalam kekurangan, Ibu kasihan kepada saya karena anak saya banyak, suami saya meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. Setiap hari, Ibu itu datang ke tempat saya dan memberi saya uang sepuluh ribu rupiah,  katanya untuk nambahin keperluan anak-anak. Waktu saya tolak,  karena saya tahu ibu pun orang miskin, beliau menjawab:
”Nak Sari, biarlah ibu bisa menabung sedikit kebaikan dari rejeki ibu. Ibu kepingin ketemu Tuhan nak. Kalau Ibu kasih uang ini buat anak-anakmu, mudah-mudahan Tuhan “seneng” dan mudah-mudahan Tuhan pengen ketemu sama Ibu nanti”.
Sari tak kuat lagi menahan tangisnya, begitupun sang marbot tua itu. Rupanya, di hari wafatnya,ibu itu masih berusaha menggapai cita-citanya ingin bertemu Tuhan kelak dengan mensedekahkan hartanya yang sangat sedikit dalam perhitungan manusia walau hanya dengan separuh penghasilannya.


Sungguh terpuji hati dalam jiwamu yang hina dipandang orang...
Semoga engkau benar-benar sudah bertemu Tuhan kini, Ibu.




*Terinspirasi dari sosok yang benar-benar ada dan saya kenal di Bandung*

20 comments:

non inge said...

nice post!
thx 4 share ^^

oia... ada award buat mba'... dari aku...
boyong yah ^^

rosanakmami said...

wuaaaa
sedih, mbak.. T.T
jadi seseorang yang mbak kenal itu sudah meninggal kah?
innalillahi..
semoga beliau diterima di sisiNya, aminnn...

Winny Widyawati said...

@ Inge
Thanks Inge, makasih jg atas awardnya yaa :)


@ rosa
Betul mb.Rosa, udh meninggal,mmg sakitnya udh lama, thx ya udh mampir :)

Ferdinand said...

Wah bener2 menginspirasi ceritanya.......kayanya mesti belajar bersyukur kaya ibu tadi........

Oiya slam knal, Aku Follow sekalian ya(DJ SIte)...klo berkenan Follow balik ya ... thnx

SemangaT N sukses slalU!!!

Winny Widyawati said...

@ Ferdinand
Trmkasih ya sdh sempatkan baca2, sy sdh follow balik :)

Sohra Rusdi said...

semoga dia sekarang damai Di alam sana dan dihari kemudian betulbetul bertemu Tuhan

Natural Nusantara said...

wah jadi teringat perjuangan nenek saya, walaupun saya belum pernah ketemu beliau, hanya cerita dari ibu saya, nenek dan kakek saya jualan "tai graji"(sisa-sisa gergajian kayu) untuk mencukupi keluarga dengan 12 anak.... 7 diantaranya sampai sekolah S1... btw kog aku belum difollow yah :D ha ha

Winny Widyawati said...

@ Bang Munir
aamin, semoga ya bang :)

@ o0z
wah knp nggak ditulis di postingannya mas? pasti menginspirasi banyak orang tuh mas'
Oops, maaf..skrg udh sy follow koq. Makasih ya :)

andie's room said...

luar biasa.. cuma itu..

Winny Widyawati said...

@ Andie
Kl luar biasa bukan cuman dong mas andie...hehe

catatan kecilku said...

Mbak.., tulisan ini berhasil membuat air mataku jatuh.
Subhanallah... ada ya orang yg peduli dg orang lain spt ibu penjual gamblong itu..?
Pasti beliau kini telah mendapatkan tempat yg amat indah disisiNYA.

the others.. said...

Mbak, kalau tulisan ini ikutan kontesnya mbak Ana kemarin.. pasti bakal menang juga. Bahkan menurut penilainku (yg awam ini) tulisan ini jauh lebih bagus daripada gerobak utk anakku itu...

Mbak, makasih bgt dah berbagi kisah yg luar biasa ini.

Bahauddin Amyasi said...

Gemblong,,,,makanan khas Bandung ya, Mbak? hehe...

fany said...

akh mulia sekali ia...btw, lagi nunggu pesawat ke Cairo nih,sis..10 jam nunggu di bandara abu dhabi jadi aku sempet ngenet. ada fasilitas inet gratis soalnya.

Winny Widyawati said...

@ mb.Reni
Amiin, semoga ya mbak.
Hati mb.Reni lembut sekali sampai meneteskan air mata smg kitapun diberi hati yg mulia spt itu ya mbak.

Lebih bagus dari Gerobak Untuk Anakku? Ya gpp saingan sama tulisan sndiri hehhe


@ Bang Bahaudin Amsyi
Hehe iya Bang, aneh ya namanya (^;^)

@ mb.fany
Waah makasih mbak fany menyempatkan singgah dulu kemari. Mesiiiirrrr....??!!!
Mauuu....

Tukang Jalan Dan Makan said...

sebuah kisah yang sangat mengharukan bu, terimakasih sudah berbagi

Winny Widyawati said...

@ Brian
Trm kasih :)

HB Seven said...

meski sedikit kita memberi namun ikhlas akan membawa barokah...

Sientrue said...

Ini kisah nyata mba?
Mengharukan banget. Sampai bikin mata berkaca.

semga ini bisa buat renungan biar aku bisa berbakti pada orang tua ku.
And smga ibu itu di trima disisi Allah S.W.T. Aaamin

andie's room said...

up's sorry,coz tu ja yang bisa di ungkapin..