Showing posts with label Kisah. Show all posts
Showing posts with label Kisah. Show all posts

Thursday, August 19, 2010

Nasi Untuk Bapak

Faqih menyuapkan nasi kedalam mulutnya, ia melihat bapaknya sedang menyusun beberapa cobek dan ulekan untuk dijual.

"Bapak, makan sama Faqih yok"

Bapak tersenyum, tangannya masih sibuk membereskan peralatan kerjanya lalu menjawab:

"Habiskan sajaa sama Faqih, Bapak masih kenyang nak"

Faqih tertegun, ditatapnya sepiring nasi yang selalu mereka makan berdua dan selalu Faqih yang disuruh memakannya terlebih dahulu. Tak ada sepiring nasi yang lainnya agar mereka bisa makan bersama-sama, karena  Bapak tak ingin makan sebelum anaknya merasa kenyang. Walaupun sesungguhnya Faqih tak pernah kenyang makan, karena ia sadar harus berbagi dengan bapaknya. Jika ia menghabiskan nasinya, maka Bapak tak bisa makan hari itu karena hanya sebungkus nasi yang bisa ia beli untuk satu hari.
Jika malam tiba, mereka berdua hanya bisa menikmati singkong goreng yang dibeli dari tetangganya atau sekedar minum untuk mengganjal perut tipis mereka.


Bapak akan memakan nasi bekas Faqih makan sesudah ia selesai dan meninggalkan sisanya. Faqih tahu makanan itu tak kan pernah bisa mengenyangkan perut ayahnya yang harus bekerja keliling kampung dengan membawa beban berat sebagai sebagai tukang cobek dan ulekan.


Faqih teringat sesuatu, ia beranjak dari duduknya, lalu mengambil kaleng bekas ikan sarden dan mengambil isinya berupa sejumlah  uang recehan yang ia kumpulkan selama ini. Ia mengambil uang recehan itu dan menyodorkannya kepada bapaknya.


"Bapak, ini uang tabungan Faqih, beli nasi yang banyak ya Pak.  Bapak jangan makan bekas Faqih lagi.  Besok Faqih jual karet gelang lagi, biar nambah tabungan Faqih untuk beli nasi yang banyak buat kita"


Berdesir hati Bapak melihat uang recehan yang tak seberapa di tangannya.  Hatinya menjerit.  Anak piatunya, yang sejak setahun yang lalu telah ditinggal mati ibunya, kini masih berumur tujuh tahun tapi sudah menyantuninya uang untuk bisa  membuatnya merasakan kenyang makan. Bapak berlutut dan menatap mata bening anak kecil darah dagingnya itu :


"Faqih simpan saja uangmu ini nak, biar Bapak yang cari uang untuk beli nasi yang banyak buat kita ya"


Bapak memeluk Faqih dengan kesedihan, dan melanjutkan kata-katanya :


"Faqih, maafkan Bapak belum bisa membuatmu kenyang nak, do'akan bapak sehat ya, biar Faqih bisa makan, bisa sekolah". Suara Bapak tercekat.


Faqih terdiam, ia melihat ada bulir air di mata orang tua satu-satunya ini, jarang sekali ia melihatnya. Bapak orang yang tegar, namun kali ini ia tak melihatnya. Dengan tangan mungilnya Faqih mengusap air mata di pipi bapaknya, dengan suara khas kanak-kanaknya Faqih berkata :


"Bapak jangan sedih,  kata Ibu, kita bisa kenyang nanti kalau sudah di Syurga. Kata Ibu, di Syurga itu banyak orang miskin seperti kita, tapi kita harus sholeh dulu. Di syurga nanti, kita bisa makan nasi yang disimpan di tempat pemanas nasi kayak punya temen Faqih, jadi nasinya hangat terus".
Faqih mencoba menghibur bapaknya dengan sedikit tambahan imajinasinya.


Meluap air mata Bapak, dipeluknya Faqih semakin erat, tangis menggejolak di dalam dada, ia berbisik dalam hatinya :
"Ya Allah, kasihi anakku ini Gustii..., sayangi dia....." 


Berapa banyak orang yang lapar disekeliling kita, namun tak sadar kita sering mengabaikannya. Berpiring-piring nasi sisa yang kita buang ternyata amat berharga untuk orang-orang seperti mereka. Terlalu banyak orang yang lapar, terlalu banyak cerita kesedihan. Semoga Ramadhan kali ini mengingatkan kita akan tanggung jawab kita atas hak-hak mereka yang tak terpenuhi. Belajar menjalankan yang disabdakan Nabi kita tercinta Muhammad saw :"Cintailah orang-orang yang miskin ".


PS : Foto Illustrasi diculik dari : http://syair79.wordpress.com/2010/05/29/hitam-putih-kehidupan-misra-cerpen/


Saturday, July 31, 2010

Kisah Aneh di akhir Pekan

Hari masih pagi, dan kegiatan keluarga setiap akhir pekan yaitu berbenah rumah belum selesai, saat aku temukan sebuah kupon mirip kupon hadiah anak-anak lainnya tergeletak di teras rumah.
Aku fikir, salah satu anakku membuangnya dan membawa snack-nya saja ke dalam rumah. Penasaran juga melihat lipatan kupon yang rapi terbungkus plastik dan terkesan berisi agak tebal itu, lain dengan kupon-kupon lain yang sering kulihat. Iseng-iseng, aku buka kupon itu, dan benar, disitu terdapat satu buah kupon dengan plat silver yang harus digosok plus dua lembar lain yang berisi surat keterangan dari kepolisian dan perusahaan makanan kudapan anakku itu.

"Ah paling-paling, yang tertulis disitu isinya "Maaf Anda Belum Beruntung !".

Begitu kataku dalam hati, maka kubiarkan saja 'calon sampah itu' tergeletak begitu saja. Namun rupanya anakku yang sulung selalu tertarik dengan kupon-kupon semacam itu, masalahnya dari salah satu jajanan yang suka ia beli, ia sering mendapat hadiah langsung berupa uang lembaran seribu atau dua ribu rupiah. Ia menggosok lapisan berwarna silver yang terdapat di dalam kupon itu, dan tidak lama kemudian terdengar teriakannya :
" Umyyyyyyyy kita dapet mobiiiillll......!!!"

Seketika ia menyebarkan kegembiraannya kepada adik-adiknya yang terbengong-bengong tak mengerti apa yang terjadi. akupun tak pelak terhisap dengan kegembiraannya dan membuatku penasaran apakah benar kami mendapat hadiah mobil dari produk snack anak-anak itu. Dan benar, aku membaca tertera di kupon itu tulisan :
"SELAMAT, ANDA MENDAPAT HADIAH UTAMA 1 UNIT MOBIL TOYOTA AVANZA !!!"

Lalu dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang tertera di lembar yang lain berupa pernyataan  dari fihak perusahaan dan kepolisian yang membuatku sangat sedikit terpengaruh bahwa kami benar-benar mendapat hadiah sebuah kendaraan roda empat.






Sejenak terjadi pesta kecil berupa sujud syukur Zahra dan jingkrak-jingkrak adik-adiknya, sementara suamiku setelah membaca isi kupon tersebut langsung menggunakan sang mesin pencari Google utuk memastikan apa yang sedang terjadi. Daaannnn...benarlah, ternyata itu semua hanya tipuan, alias kupon abal-abal.

Lewat Google kami mengetahui bahwa fihak perusahaan tersebut tidak pernah menyelenggarakan kupon berhadiah kendaraan. Itu semua hanya ulah oknum-oknum jahat yang memanfaatkan kelengahan dan "kebodohan" orang-orang  yang merasa menjadi orang paling beruntung.

Maka, berubahlah histeria kegembiraan tadi menjadi kemurungan wajah anak-anakku, aku sendiri sih biasa-biasa aja ( sambil mengusap air mata pake handuk). Agak berliku juga menjelaskan persoalan 'tipu-tipu ala kupon berhadiah' ini kepada mereka. Bersyukur, kami cepat mengetahui kebenaran tentang hal ini kalau tidak mungkin kami akan kehilangan cukup banyak rupiah sebagai syarat yang katanya untuk biaya surat-surat kendaraan, NPWP dan sebagainya.

Jadi, berhati-hatilah terhadap segala bentuk kejutan berhadiah itu, apalagi hadiah yang wah, karena jumlah uang yang akan ditipu juga pasti besar. Semoga Allah melindungi keluarga kami dari keburukan dan niat jahat orang-orang  dan begitu pula anda semua. Amiin .........

Sunday, June 20, 2010

Persembahan Terakhir

Pada suatu hari di daerah Bandung bagian selatan, seorang ibu tua dengan berjalan terseok-seok, membawa tubuhnya yang ringkih karena penyakit reumatik yang dideritanya bertahun-tahun ….
Seperti hari-hari sebelumnya selama belasan tahun berkeliling dari perumahan satu ke perumahan yang lain, kadang-kadang menyusuri pemukiman kumuh melewati gang-gang sempit menjual makanan hasil olahannya sendiri ‘Gemblong’ namanya makanan daerah terbuat dari tepung ketan hitam dibalut gula merah, yang disimpan di dalam sebuah baskom kaleng berukuran besar.
Dibawanya diatas kepalanya yang beralas kain sambil meneriakkan dagangannya di setiapkali melewati rumah-rumah atau tempat-tempat dimana terdapat ramai orang.


Kulitnya yang berkerut dimakan usia dan menghitam terbakar matahari setiap hari, menunjukkan ketabahannya menjalani taqdir yang dikehendaki Tuhannya.
Hidup sebatangkara di rumah kontrakan sangat sederhana yang ia bayar sendiri dari penghasilannya berjualan gemblong. Anak laki-laki satu-satunya sudah sangat lama tak pernah lagi menjenguknya atau sekedar menanyakan kabarnya sejak meninggalkannya merantau ke Papua bertahun-tahun yang lalu. Sedang seorang anak perempuannya, walau tinggal sekota tidak dapat menolongnya karena kerasnya kehidupan yang menghimpitnya.
Maka tinggallah sang Ibu sebatangkara di tengah ganasnya persaingan usaha mencari nafkah untuk kehidupan. Bertahan dengan penyakit yang ia derita karena tak sanggup untuk membayar dokter untuk berobat,walau jarak rumah kontraknnya ke puskesmas hanyalah tujuhpuluh langkah saja.



Hari itu hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya, matahari tepat di atas ubun-ubunnya.
Panas menyengat kulit tangannya yang memegang erat dagangannya dan menempel di pinggangnya. Gemblong jualannya masih tersisa separuhnya. Langkahnya gontai…semakin lama semakin lemah,hingga terduduk ia di pelataran masjid besar di sebuah perumahan. Dibelinya segelas minuman mineral yang terasa kesat di lidah tuanya.
Dalam sisa tenaganya, sang ibu tua penjual gemblong itu melangkah perlahan mengambil air wudlunya, perutnya belumlah terisi nasi sejak pagi, hanya sebuah gorengan dan lontong dari warung langganannya yang sanggup ia beli. Kepalanya sedikit pusing,sesuatu hal yang sudah biasa ia rasakan sejak muda, maka tak ia hiraukan. Tetapi tubuhnya semakin lemah saja,maka sembahyang pun ia lakukan sambil terduduk di sudut belakang masjid.



Tak seorang pun jama’ah masjid yang memperhatikan perempuan itu, kecuali seorang bapak tua penjaga mesjid yang setiap hari merawat dan membersihkan masjid  *Marbot Masjid*.  Ia sudah sangat mengenal perempuan tua itu karena setiap dzuhur ia selalu shalat dan beristirahat di tempat itu.
Bapak marbot tersebut memperhatikan sang ibu tua yang masih terduduk bersandar di dinding masjid. Mukenanya belumlah ia lepaskan,namun saat ibu penjual gemblong itu melihat bapak marbot sedang melihat ke arahnya, dengan lemah ia berusaha melambaikan tangannya meminta supaya dia mendekat. Rupanya bapak marbot itu menangkap maksudnya,maka diapun mendekat.



Tak lama setelah bapak marbot itu berada dihadapannya,si ibu berkata kepadanya:

”Bapak yang baik, bolehkah saya meminta tolong Bapak sekali ini saja?”. Bapak penjaga masjid itu terdiam, ia mengira si ibu penjual ini sedang tidak enak badan :

”Baik Ibu, Ibu ada keperluan apa?”
Ibu tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik mukenanya, selembar uang Lima Ribu Rupiah, lalu diserahkannya kepada bapak itu dan berkata:

”Saya menitipkan kepada Bapak uang ini untuk Sari di kampung Baru dekat sini,bilang sama dia jualan saya belum habis terjual,saya cuma bisa kasih segini. Tolong ya pak,dia butuh uang ini”.



Bapak marbot menerima selembar uang Lima Ribu rupiah itu dengan hati bertanya-tanya, namun saat matanya menoleh kepada sang ibu tua itu hendak bertanya lebih lanjut , sang ibu sudah terpejam matanya, nafasnya tiada lagi.
 Innalillaahi wa innaailaihi raaji’uun…sang penjual sederhana tersebut rupanya telah wafat,  masih terbungkus pakaian sembahyangnya.
Gemparlah seisi masjid , demikian pula warga perumahan itu. Sang penjual tak memiliki sanak saudara, maka hanya warga perumahan itulah yang mengurus jenazahnya.



Tiga hari setelah wafatnya Ibu penjual gemblong itu, bapak marbot mencoba melaksanakan wasiatnya. Ia pergi menuju tempat yang ditunjukkan sang penjual. Seharian ia mencari, bertanya kepada orang-orang dimanakah wanita bernama Sari itu tinggal.
Akhirnya,setelah pencarian yang melelahkan bertemulah ia dengan wanita yang dimaksud.
Berceritalah bapak penjaga masjid itu kepada Sari pertemuan terakhirnya dengan Ibu penjual gemblong itu di masjid. Maka meledaklah tangis wanita yang bernama Sari itu. Marbot bertanya dengan hati-hati:


”Maaf Nak, apakah Ibu itu ibumu?”
Sari kembali tersedu, namun ia menggelengkan kepalanya lalu ia berkata:

” Bukan pak, bukan ibu kandung saya, tapi saya menganggap beliau ibu saya sendiri. Kami sama-sama hidup dalam kekurangan, Ibu kasihan kepada saya karena anak saya banyak, suami saya meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. Setiap hari, Ibu itu datang ke tempat saya dan memberi saya uang sepuluh ribu rupiah,  katanya untuk nambahin keperluan anak-anak. Waktu saya tolak,  karena saya tahu ibu pun orang miskin, beliau menjawab:
”Nak Sari, biarlah ibu bisa menabung sedikit kebaikan dari rejeki ibu. Ibu kepingin ketemu Tuhan nak. Kalau Ibu kasih uang ini buat anak-anakmu, mudah-mudahan Tuhan “seneng” dan mudah-mudahan Tuhan pengen ketemu sama Ibu nanti”.
Sari tak kuat lagi menahan tangisnya, begitupun sang marbot tua itu. Rupanya, di hari wafatnya,ibu itu masih berusaha menggapai cita-citanya ingin bertemu Tuhan kelak dengan mensedekahkan hartanya yang sangat sedikit dalam perhitungan manusia walau hanya dengan separuh penghasilannya.


Sungguh terpuji hati dalam jiwamu yang hina dipandang orang...
Semoga engkau benar-benar sudah bertemu Tuhan kini, Ibu.




*Terinspirasi dari sosok yang benar-benar ada dan saya kenal di Bandung*