Saturday, July 31, 2010

Dibawah Bendera Reformasi (Postingan Kolaborasi bersama Trimatra)

Setiap hari adalah pemberian Tuhan yang baik. Tak ada yang ternikmat melainkan masih diberi kesempatan hidup dalam keadaan sehat. Diberi sekali lagi kesempatan untuk dapat "bergerak" memanusiakan "kehewanan" nafsu kita dengan memuliakan kehidupan melalui amal-amal shaleh kita.

Ditakdirkan Tuhan untuk lahir dan hidup di negeri ini. Negeri yang lega dan lapang namun terasa sempit dan menyesakkan untuk sebagian penghuninya. Negeri yang hijau dan subur namun penuh polusi dan racun bagi sebagian warganya. Negeri yang kaya namun memiskinkan banyak penduduknya. Negeri yang ramah dan berbudi namun kejahatan berbagai bentuk merajalela.

Ya, di negeri yang demikan kita diasuh, oleh zaman yang semakin rapuh. Sesungguhnya tak ada yang berubah dari zaman ini melainkan dia semakin renta. Manusialah yang berubah dengan hawa nafsunya. Sejak Indonesia merdeka dari penjajahan bangsa asing, apakah Indonesia dengan serta merta telah terbebas dari penjajahan siapapun ? Euphoria kemerdekaan justru telah memabukkan anak-anak bangsa yang baik dan idealis menjadi haus kekuasaan. Dan dari sini sumber malapetaka berawal, apalagi tak disertai tuntunan kebenaran. Maka yang terjadi adalah lanjutan "peperangan". Peperangan melawan nafsunya sendiri-sendiri.

Maka kita perhatikan justru antrian orang miskin yang berbaris menunggu giliran mendapatkan jatah makanan atau minyak dan sebagainya justru terjadi setelah "kemerdekaan" baik sejak masa Orde Lama, Orde Baru maupun era Reformasi sekarang ini walau berbeda bentuknya namun sama dalam maknanya.

Jika demikian apakah kita masih dalam masa penjajahan ? Jawabnya bisa disaksikan dari pemberitaan-pemberitaan di media setiap hari. Permasalahan-permasalahan ekonomi, sosial, financial, moral dan etika, kepemilikan, peradilan, perundang-undangan, anak-anak, rumah tangga, dan sebagainya menunjukkan banyak sekali yang harus dibenahi di negeri ini.

Namun demikian, diatas takdir Tuhan ini, tak ada yang tak bisa kita persembahkan untuk kebaikan negeri ini. Setiap kebaikan yang kita tanam tentu akan menambah pula kebaikan untuk negeri ini. Tak ada yang sia-sia walau sekecil apapun yang dapat kita bangun.

Maka cita-cita besar untuk mewujudkan negeri yang lebih baik itu tetap harus berawal dari langkah kecil kita.
  • Pertama kebersihan hati, bersih dari segala pamrih, bekerja semata-mata karena untuk memuliakan Tuhan dan untuk bersyukur kepadaNYA
  •  Kedua lahirkan Gagasan. Gagasan untuk mewujudkan sesuatu yang baik dan manfaat untuk setidaknya keluarga sendiri. Jika bisa,lebarkan manfaat itu agar dapat dinikmati lingkungan terdekat, demikian seterusnya meluas hingga dapat dirasakan masyarakat
  • Ketiga, Eksekusi. Eksekusikan gagasan dan rencana-rencana kita. Tanpa eksekusi, gagasan sehebat apapun hanya akan tinggal gagasan saja tidak menjadi apa-apa.
    Jadi berhentilah mengeluh dan menghujat, hanya menambah penjajahan moral lain di negeri ini dan menambah beban bathin masyarakat. Sudah waktunya bekerja bukan beropini. Ayo, mana tanganmu ? Ini tanganku...!

    Memang menulis atau berkata-kata tak kan semudah mewujudkannya, tetapi tak ada yang mustahil selama kita mau berusaha dan terus berdo'a kepadaNYA.

    Semoga apa yang kita buat untuk kebaikan negeri ini menjadi tambahan lakon dan pitukon kita, tambahan amal-shalih kita agar dapat menjadi bekal pulang kembali kepadaNYA, yang untuk tujuan itulah kita diciptakan.




    Ditulis untuk mengikuti Kolaborasi Postingan bersama Trimatra bertema Dibawah Bendera reformasi

    Kisah Aneh di akhir Pekan

    Hari masih pagi, dan kegiatan keluarga setiap akhir pekan yaitu berbenah rumah belum selesai, saat aku temukan sebuah kupon mirip kupon hadiah anak-anak lainnya tergeletak di teras rumah.
    Aku fikir, salah satu anakku membuangnya dan membawa snack-nya saja ke dalam rumah. Penasaran juga melihat lipatan kupon yang rapi terbungkus plastik dan terkesan berisi agak tebal itu, lain dengan kupon-kupon lain yang sering kulihat. Iseng-iseng, aku buka kupon itu, dan benar, disitu terdapat satu buah kupon dengan plat silver yang harus digosok plus dua lembar lain yang berisi surat keterangan dari kepolisian dan perusahaan makanan kudapan anakku itu.

    "Ah paling-paling, yang tertulis disitu isinya "Maaf Anda Belum Beruntung !".

    Begitu kataku dalam hati, maka kubiarkan saja 'calon sampah itu' tergeletak begitu saja. Namun rupanya anakku yang sulung selalu tertarik dengan kupon-kupon semacam itu, masalahnya dari salah satu jajanan yang suka ia beli, ia sering mendapat hadiah langsung berupa uang lembaran seribu atau dua ribu rupiah. Ia menggosok lapisan berwarna silver yang terdapat di dalam kupon itu, dan tidak lama kemudian terdengar teriakannya :
    " Umyyyyyyyy kita dapet mobiiiillll......!!!"

    Seketika ia menyebarkan kegembiraannya kepada adik-adiknya yang terbengong-bengong tak mengerti apa yang terjadi. akupun tak pelak terhisap dengan kegembiraannya dan membuatku penasaran apakah benar kami mendapat hadiah mobil dari produk snack anak-anak itu. Dan benar, aku membaca tertera di kupon itu tulisan :
    "SELAMAT, ANDA MENDAPAT HADIAH UTAMA 1 UNIT MOBIL TOYOTA AVANZA !!!"

    Lalu dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikutnya yang tertera di lembar yang lain berupa pernyataan  dari fihak perusahaan dan kepolisian yang membuatku sangat sedikit terpengaruh bahwa kami benar-benar mendapat hadiah sebuah kendaraan roda empat.






    Sejenak terjadi pesta kecil berupa sujud syukur Zahra dan jingkrak-jingkrak adik-adiknya, sementara suamiku setelah membaca isi kupon tersebut langsung menggunakan sang mesin pencari Google utuk memastikan apa yang sedang terjadi. Daaannnn...benarlah, ternyata itu semua hanya tipuan, alias kupon abal-abal.

    Lewat Google kami mengetahui bahwa fihak perusahaan tersebut tidak pernah menyelenggarakan kupon berhadiah kendaraan. Itu semua hanya ulah oknum-oknum jahat yang memanfaatkan kelengahan dan "kebodohan" orang-orang  yang merasa menjadi orang paling beruntung.

    Maka, berubahlah histeria kegembiraan tadi menjadi kemurungan wajah anak-anakku, aku sendiri sih biasa-biasa aja ( sambil mengusap air mata pake handuk). Agak berliku juga menjelaskan persoalan 'tipu-tipu ala kupon berhadiah' ini kepada mereka. Bersyukur, kami cepat mengetahui kebenaran tentang hal ini kalau tidak mungkin kami akan kehilangan cukup banyak rupiah sebagai syarat yang katanya untuk biaya surat-surat kendaraan, NPWP dan sebagainya.

    Jadi, berhati-hatilah terhadap segala bentuk kejutan berhadiah itu, apalagi hadiah yang wah, karena jumlah uang yang akan ditipu juga pasti besar. Semoga Allah melindungi keluarga kami dari keburukan dan niat jahat orang-orang  dan begitu pula anda semua. Amiin .........

    Monday, July 26, 2010

    Belajar Dari Ironi Menjelang Ramadhan tiba

    Terharu menyimak berita siang ini, tentang pembebasan hakim atas tuntutan jaksa kepada dua janda pahlawan di PN Jakarta Timur. Kedua janda ini bebas atas gugatan kasus penggunaan rumah pegadaian.


    Tidak kuat menahan air mata melihat sosok-sosok sepuh itu dalam masa tuanya harus menghadapi perso'alan rumit seperti itu. Tanpa suami lagi karena ditinggal wafat, sedang pada masa mudanya dahulu mereka tercatat sebagai orang-orang yang membela bangsa dan mempertahankan tanah airnya. Tak disangka, dimasa lemahnya mereka terusir dari rumah-rumahnya yang mereka pertahankan dulu setiap jengkalnya dari rampasan negri-negri penjajah.


    Salah satu ironi kemanusiaan ,bukan hanya menyoroti kekurangan bangsa ini karena dimanapun kalau manusia sudah lebih mendahulukan dorongan nafsunya dibanding tuntunan kebenaran, maka yang terjadi pasti ketidak-adilan.


    Banyak sekali ironi terjadi yang memilukan hati, dan banyak sekali hal-hal tersebut diangkat ke permukaan oleh media-media pemberitaan di masa canggih sekarang ini. Tapi akankah semua itu merubah kita semua untuk dapat memfungsikan akal dan hati nurani kita untuk dapat hidup lebih baik sejalan dengan Kehendak Tuhan ?


    Hakikat nafsu sesungguhnya ada pada raga manusia itu sendiri. Nafsu ada karena raga manusia ada. Diciptakan Allah agar bisa menjadi kendaraan dalam perjalanan menuju kepada NYA kembali kelak. Namun tergantung bagaimana manusia mengendalikan nafsunya, apakah akan sampai dengan selamat ataukah tersesat. Apakah manusia yang tetap konsisten mengendalikan nafsunya atau berbalik nafsunya sendiri yang mengendalikan kehidupannya.


    Jika nafsu telah menjadi tuntunan, maka peradaban ini akan semakin diarahkan menuju kehancuran. Seperti yang difirmankan dalam Al-Qur'an :

    Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya.( QS : Al-Mu'minun : 71 )

    Bagaimana tidak nafsu yang hakikatnya raga manusia ini memiliki kebutuhan-kebutuhan. Butuh makan, minum, rumah, berteman, berpasangan, berkeluarga dsb. Kebutuhan-kebutuhan bangsa daging dari kalangan makhluk berakal. Namun nafsu itu ibarat pedal gas dalam kendaraan, ia membutuhkan rem, dan rem itu hanya dikendalikan oleh hati nurani manusia. Jika rem dari hati nurani itu tidak bekerja maka bablaslah digunakan sang nafsu seenaknya sendiri. Bisa-seruduk sana seruduk sini, tak perduli apakah akan merugikan orang lain atau tidak.


    Disinilah kepentingan keberadaan hati nurani yang bersih untuk manusia. Ia menjadi teman akal manusia sebagai "baitul makmur"nya, tempat Allah menurunkan hidayahNYA agar manusia dapat membaca signal keberadaanNYA . Sehingga merasakan kehadiranNYA ini menjadi ruh dalam setiap aktivitasnya.

    Merasa selalu dekat dengan Rabb langit dan bumi pastilah akan membawa dampak yang dahsyat dalam berkehidupannya. Segala aktivitasnya pasti akan diarahkan agar bisa mendapat Rela dan Keridha'anNYA.


    Menjelang Ramadhan 1431 Hijriyah kali ini, selayaknya kita semua bersiap diri, untuk dapat memanfaatkan bulan mulia yang dianugrahkan Allah itu sebagai momentum mujahadah bagi perbaikan diri, menjadi pribadi-pribadi yang dapat mengendalikan nafsunya sesuai dengan kehendak Penciptanya. Sehingga lebih jauhnya memiliki keinginan untuk dapat ma'rifat atas Kebenaran dan PemilikNYA.


    "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang sungguh menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.... ( QS : An-Nisa 135 )


    Semoga masih diberikan usia untuk sampai kepada Ramadhan yang diberkahi. Semoga masih diberi kesempatan menikmati jamuan Ilahy, Allahumma amiin.

    Thursday, July 22, 2010

    Cinta Untuk Anak-Anak Negriku

    foto dipinjam dari sini


    Sudah menjadi fitrah manusia untuk menyayang mencintai anaknya. 
    Apakah karena anak itu darah dagingnya ? Apakah karena itu dengan rela orang tua melimpahkan kecintaannya dalam wujud pemberian-pemberian ? Apakah karena itu pula para orang tua banyak berkorban demi kesehatan, keselamatan dan kebahagian putra-putrinya ?


    Jika karena itu semua, mengapa pada zaman ini kita saksikan betapa banyak orang tua yang menyakiti anak-anaknya, anak-anak-anak yang dikandung dalam rahimnya atau rahim istrinya. Mengapa ada bapak memperkosa putri kecilnya ? Mengapa ada ayah yang membaringkan anaknya di atas rel KRL agar kaki putranya digilasnya ? Mengapa ada ibu yang menenggelamkan putra-putrinya ? Mengapa ada ibu yang membunuh tiga anak balitanya sekaligus ? Mengapa ada orang tua yang mengurung anak balitanya berhari-hari dan meninggalkannya di rumah sendiri tanpa makanan dan minuman ? Mengapa banyak wanita melahirkan bayinya lalu membuangnya atau membunuhnya ? Mengapa ada ayah tega menyuruh anak perempuannya melacurkan diri ? Mengapa dan banyak sekali mengapa ?


    Jika demikian bukan karena hubungan pertalian darah yang menyebabkan kasih dan cinta orang tua kepada anak itu terbentuk. Melainkan karena Allah saja Pencipta Segala yang telah mewujudkan cinta itu dan menyematkannya kepada dada manusia yang dikehendakiNYA. Allah telah melembagakan CintaNYA dan dibagikanNYA kepada kebanyakan orang tua di bumi milikNYA.
    Betapa banyak orang-orang yang bukan ayah, bukan ibu, bukan tante, bukan om, bukan nenek, bukan kakek, namun habis waktu hidupnya untuk berkhidmat pada menjaga dan memelihara anak-anak orang lain yang ditelantarkan orang tuanya. 


    Belum lama ini ada pemberitaan yang mengisahkan tentang seorang supir taxi di Bandara Soekarno Hatta yang memelihara bayi-bayi yang dibuang orang tuanya di tempat ia bekerja. Ia membawa pulang bayi-bayi malang itu lalu dirawatnya bersama istrinya seperti mereka merawat anak-anak kandungnya sendiri. Supir taxi itu memelihara 7 anak terlantar itu, sedang anak kandungnya sendiri ada 3 orang. Ditempatkan di rumahnya yang mungil, dengan penghasilan sebagai supir taxi yang tidak seberapa, namun Tuhan menunjukkan kepada kita semua dalam tayangan itu bahwa rezekinya cukup untuk hidup bersama-sama mereka dalam kasih sayang dan cinta.



    Harus menjadi bahan introspeksi tingkat tinggi bagi para orang tua yang memiliki anak-anak dalam asuhannya. Apakah anak-anak itu telah mendapakan hak mereka sepenuhnya untuk dijaga, dilindungi, disayangi, diberi pendidikan yang baik dan benar .
    Apakah tanggung jawabnya itu berada dalam pengendalian yang benar atau telah diserahkan sebagiannya ataukah sebagian besarnya kepada para asistennya entah itu diistilahkan dengan Baby Sitter, Pembantu dan lain sebagainya.



    Sungguh miris menyaksikan beberapa anak-anak tetangga yang telah dipercayakan pengasuhannya kepada para asisten yang (maaf) banyak hanya mencari materi saja di rumah majikannya. Saat kedua majikannya bekerja di luar rumah, tinggallah si anak dengan tingkah polah "mbak-mbaknya" yang merasa "bebas" dari pantauan sang majikan. Mereka asyik bertelpon ria dengan kawan-kawanya, sering juga dengan kawan prianya. Sering ditemukan mereka membawa masuk kawan lain jenisnya bahkan membuat pesta kecil di rumah majikannya tanpa izin. Terbayang apa yang diserap si anak dari tingkah asisten seperti ini terlebih jika dikaitkan dengan jumlah kekerasan kepada anak yang banyak terjadi saat ini yang dilakukan oleh para asisten rumah tangga . Walaupun tidak dipungkiri ada pula asisten yang baik, namun tetaplah  sebagai orang tua tidak bisa dibenarkan apabila menyerahkan pengasuhan sepenuhnya kepada asisten sebagaimana baiknyapun, karena kesibukannya tidaklah mengugurkan kewajibannya dalam hal mendidik dan membesarkan anak-anaknya.



    Itulah yang amat mahal dan tak ternilai harganya pada zaman ini. Dimana Cinta tak dapat dibeli hanya oleh sejumlah rupiah. Keselamatan, Ilmu dan Kebahagiaan anak-anak adalah harta tak ternilai yang tak dapat ditebus saat mereka telah beranjak dewasa. Dimana mereka akan mencari lembar demi lembar kenangan akan keberadaan orang tua mereka serta cintanya. Bagaimana akibatnya jika yang mereka temukan dari lembaran-lembaran itu hanya 'ketiadaan'? padahal orang tua mereka masih hidup ? Bagaimana sekiranya yang mereka temukan dalam album kehidupannya hanya sosok-sosok pembantu rumah tangga orang tua mereka, bukan ibu dan ayahnya sendiri ? Bagaimana jika yang mereka temukan dalam album mereka hanyalah bentakan, kekerasan hati, kekakuan, wajah-wajah dingin orang tuanya bahkan kekejamannya ? Na'udzubillah min dzaalik.


    Dan yang terutama adalah, bahwa orang tua yang baik bagi anak-anak  ini harus "diperluas" dalam hal tanggung jawab saling mengawasi, saling menjaga keselamatannya, saling perduli akan pendidikan budi pekertinya kepada lingkungan yang lebih besar seperti tetangga, lingkungan rukun tetangga, rukun warga dan yang terluas dalam lingkup negara ya negara itu sendiri.


    Negara wajib memberikan perhatian besar akan generasi barunya dalam hal memuliakan masa depan mereka dengan memberikan pendidikan yang baik, kemudahan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang baik tersebut, menyediakan perangkat hukum yang kuat untuk melindungi hak-hak mereka sebagai anak bangsa, mensejahterakan kehidupan orang tuanya, yang pada akhirnya akan mengkait pada aspek-aspek besar lainnya yang untuk itulah negara ada untuk kita.



    Semoga Allah mengaruniakan masa dan tempat yang lebih baik untuk kalian anak-anakku di bumiNYA ini, Allahumma aamiin





    Ditulis atas kesepakatan postingan kolaborasi Gerakan Nasional Indonesia Sayang Anak yang digagas oleh bang Iwan dari Fatamorgana untuk memperingati Hari anak Nasional tgl 23 Juli 2010.

    Wednesday, July 21, 2010

    Tali Asih, Tali Ikatan Persahabatan...

    Bismillah, Alhamdulillah

    Rencananya posting tulisan bertema/berjudul (???) Kesombongan Intelektual, namun rasanya akan tertunda lagi jika aku tidak segera posting beberapa award yang baru ataupun lama aku terima,  serta beberapa tali asih yang membuatku semakin bersemangat untuk menulis dan menulis, walaupun seringkali semangat itu harus diredam dahulu, saat beberapa hal  lebih membutuhkan waktu dan tenagaku.

    Aku hanya mengungkapkan rasa terima kasih dan syukur yang sangat dalam atas fihak-fihak yang telah berbaik hati mengingat namaku sebagai bagian dari kebahagiaan mereka merasakan "manisnya" berkawan dalam dunia blogging. Semoga apa yang baru saja aku dapatkan dapat menjadi pemacu untuk dapat lebih banyak memberi manfaat baik kepada diriku sendiri maupun sesamaku.

    Diantara yang telah kuterima dari kebaikan kawan-kawan blogku adalah : 




    Terimakasih kapada Pakde Cholik sebagai pemilik Blogcamp yang telah bermurah hati mengirimkan tali asih berupa 2 T-Shirt berwarna hitam dengan logo bintang bertulis BlogCamp berwarna merah border putih disertai 2 buah buku berjudul Writing Donuts yang ditulis oleh Joni L.Efendi dan Meraih Mutiara Al-Qur'an yang ditulis oleh Bachtiar Nasir sebagai penghargaan atas keikutsertaanku di Kontes "Ungkapkan Opini Anda" 1st Blogcamp anniversary 2010 dan Kontes Menulis Peribahasa 1st Blogcamp anniversary 2010.

    Namun sebelumnya, akupun pernah mendapatkan tali asih pula dari blogcamp berupa sebuah buku berjudul BLOG_PREUNER, yang ditulis oleh Wikan Pribadi S.TP M.Kom atas keikutsertaanku dalam kontes lagu kenangan. Ini bukunya :

    Terimakasih tak terhingga Pakde, semoga silaturahmi kita tidak dibatasi oleh keberadaan tali asih, walaupun tali asih merupakan suatu keistimewaan karena yang saya tahu dari perkataan Nabi saw yang disampaikan melalui Abu Hurairah :"Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling menyayangi" (HR. Bukhari). Tinggal saya nih yang belum sekalipun memberikan tali asih kepada Blogcamp.

    Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada mbak Fanda yang lama telah memberikan tali asihnya yang dikalangan blogger sering juga disebut Award, tapi aku lebih suka menyebutkannya dengan cara yang Indonesia seperti yang Pakde istilahkan. ini tali asihnya :



    Terimakasih juga untuk mb.Reni Judhanto yang telah berkenan memberikan juga tali asihnya yang cantik seperti ini :



    Tak ada yang diinginkan oleh seorang yang telah diberi kebaikan melainkan membalasnya dengan kebaikan pula. Namun saat ini hanya do'a yang dapat kupanjatkan semoga para pemberi tali asih ini mendapatkan kebaikan yang berlipat ganda lebih dari yang telah diberikannya untuk ikatan silaturahmi ini. 


    Dan yang terpenting adalah, bagaimanapaun kebaikan persahabatan tidaklah dibatasi oleh tali asih atau award-award ini, walaupun tak ada award bukan berarti tak ada persahabatan diantara kita, semoga selamanya selalu menjadi kawan. InshaAllah

    Monday, July 19, 2010

    Dalam Pelukmu Aku MenantiNYA, Ramadhanku...





    Adalah suatu masa...
    Siangnya bermakna, malamnya penuh arti
    Saat waktu seakan berhenti
    Mengunjungi setiap qalbu yang liar berlari

    Udaranya menebarkan  rahmat
    Atmosfirnya biaskan Fhadilat
    Tiada yang tak gembira menyambutnya
    Tiba waktunya bertabur ni'matNYA


    Adalah suatu masa...
    Dimana lapar melahirkan cinta
    Dan dahaga menumbuhkan hikmah
    Menjelangkan bahagia disaat senja tiba

    Ramailah  orang beribadah
    Shalat, tadarus dan shedekah
    Tak lupa infaq, zakat serta shalawat
    Makmurkan hari-hari nan penuh berkat


    Adalah suatu masa...
    Saat nafas dan tidur mendapat pahala

    Seluruh dosa mendapat ampunan
    Segala do'a diterima Tuhan


    Itulah saatnya hati mudah tersentuh
    Dengan alunan ayat yang mengalun
    Saatnyanya air mata keraplah jatuh
    Walau tersindir da'wah sepantun


    Adalah suatu masa...
    Satu malamnya bagaikan seribu bulan
    Allah utuskan bergelombang Mala'ikat
    Membentang luas pintu berkah dan taubat


    Malam Qadar menebus alpha
    Khilaf dan salah terhapus jua
    Mengejar rela dan ridha Tuhan
    Agar selamat hingga ke tujuan


    Adalah suatu masa...
    Yang amat sangatlah berharga
    Tak ternilai harta dan nyawa
    Disebutkan Nabi  bulan Ramadhan


    Masjidku di dalam dadaku
    Mengalunkan tasbih mengawal dzikirku
    Memboyong taqbir di penghujung masanya
    Saling maafkan di Hari Raya


    Kiranya syurga itu tak jauh dari jangkauanku
    Ia bertahta dalam hatiku
    Disetiap kenanganku akan Allah Tuhanku


    "Syurga" itu singgah siang dan malam untukku
    Menawarkan tenang dan tentram dalam qalbuku
    Saat Ramadhan menaungiku


    Semoga air mata ini menjadi saksi
    Setiap tetesnya mengabarkan kerinduan hati
    Akan perjumpaan dengan Allah Al- Badi' *
    Dalam pelukmu aku menanti


    Marhaban ya Ramadhan...
     



    Keterangan: Al - Badi' bermakna Maha Pencipta Yang Tiada BandinganNya
    Gambar illustrasi saya pinjam dari sini .

    Alhamdulillah
    Puisi ini saya tuliskan untuk mengikuti Lomba Puisi Ramadhan Zahiya Cute yang diselenggarakan oleh Anti Mei dan Zahiya.
    Semoga berpuisi ini menjadi amal shalihku dan siapa yang sudi membacanya, Allahumma aaminn...

    Assalamu'alaikum, dari winny widyawati.



    Thursday, July 15, 2010

    Renungan Bersama Semangkuk Mie Instant

    Bismillahirrahmanirrahiim

    Malam ini, sambil menikmati semangkuk mie instan (yang dengan gagahnya tidak aku rekomendasikan untuk makanan anak-anak karena bukan makanan sehat) seperti biasa aku mulai merapat di seperangkat alat menulisku ini. Karena tangan kanan kugunakan untuk menyendokkan mie ke dalam mulutku, maka tangan kiri kutugasi untuk meng-klik mouse-ku ke alamat-alamat rumah menulis teman blogku.

    Dengan semangkuk mie ditangan aku mulai berselancar menemui catatan-catatan teman yang sangat berharga dengan aneka genre dan gayanya. Aku tidak berhenti bersyukur, ajaib sekali media internet ini memberiku banyak informasi, tanpa harus bersusah payah mengunjungi toko-toko buku, atau mampir di emperan jalan untuk membeli koran, namun aku bisa mendapat beraneka bacaan yang menurutku apapun itu, apakah postingan-postingan itu berupa artikel, cerpen, puisi, prosa, essay,  review buku atau film, atau sekedar curhat semuanya memberiku manfaat yang luar biasa dan kukira untuk teman-teman pun demikian.
    Kita bisa mengetahui banyak hal dengan membaca tulisan-tulisan mereka, nambah ilmu kata orang, bahkan kita bisa menduga-duga seperti apa kira-kira karakter dan gaya hidup teman blog kita itu.

    Merenungi semua catatan-catatan itu membuatku teringat dengan masa laluku. Masa lalu yang belum terlalu lama meninggalkanku atau aku yang meninggalkannya, entahlah aku tak tahu. Tetapi yang pasti pada saat aku berpisah dengannya aku telah membuat suatu keputusan besar, keputusan yang merubah lagi diriku, jiwa dan pemikiranku setelah sebelumnya diriku, jiwa dan pemikiranku telah diubahnya selama betahun-tahun pula.
    Aku merasa menjadi manusia baru dimana kehidupanku dimulai. Terkadang muncul penyesalan mengapa kesadaran itu terlambat datang, namun keyakinan bahwa tidak ada yang terjadi dan terwujud dalam kehidupan ini kecuali karena izinNYA maka aku meyakini inilah jalanku yang DIA kehendaki untukku. Maka aku tak keberatan sama sekali. Apalah artinya lama dan sebentar, tepat waktu atau terlambat dalam perhitunganNYA, selama kita mau menggunakan "mata", "telinga", akal dan hati kita untuk menangkap isyarat-isyaratNYA.

    Dari sejarah belasan tahun di masa laluku  itu aku belajar, bahwa manusia bisa sangat naif. Naif bisa jadi karena kemudaan usia dan kepolosan informasi dan pemahamannya sehingga pada saat datang orang dengan membawa pemikiran baru yang nampak "hebat" apalagi mengatas namakan "kebenaran" dengan menggadang-gadang ayat-ayat Tuhan dalam KitabNYA maka dengan mudahnya kita dan sebagian banyak anak-anak muda yang tergiur olehnya lalu masuk kedalam lubangnya.

    Jiwa-jiwa heroik seketika bermunculan seakan-akan berdiri di atas kebenaran sejati. Sehingga terkadang bahkan sering lupa bahwa kebenaran itu bukan kita yang punya. Kebenaran hakiki hanya milik Tuhan semesta alam yang Allah asmaNYA. Karena "lupa" inilah sering terjadi fanatisme berlebihan yang lahir dari doktrin-doktrin yang sesungguhnya lahir dari pemikiran manusiawi juga, penafsiran-penafsiran ayat yang diragukan apakah benar telah ditafsirkan dengan tepat oleh yang berhak dan sah. Oleh sebab itu karena telah mengalami penafsiran yang khawatir telah disesuaikan dengan berbagai kepentingan, maka terjadilah menurut saya fanatisme yang tidak lagi proporsional,  fanatisme yang tidak lagi berfihak kepada Allah dan RasulNYA yang sering didengung-dengungkan, melainkan fanatisme pada golongan/ kelompoknya sendiri-sendiri Fanatisme yang ashobiyah. Sehingga bukannya mendatangkan rahmat melainkan menambah alat pemecah belah lagi untuk umat yang telah kebingungan ini.

    Saat itu, duniaku seakan hanya "disitu" saja. Tak berani bahkan menengokkan kepala keluar, takut terbilang tak konsisten. Tidak ada referensi yang benar "diluar sana" yang benar hanya yang bersumber dari "dalam". Bahkan jikapun referensi itu, masukan-masukan itu datang dari orang tua kita sendiri, dengan gagahnya akan kita sanggah, karena mereka bukan dari "kalangan sendiri". Sikap-sikap pengingkaran tanpa sadar telah dijejalkan, bahkan kepada orang tua sendiri jika mereka bukan dari komunitas yg sama. Komunitas yang mengagungkan ideologi tanpa tuntunan asli memang akhirnya akan menimbulkan keheranan tersendiri pada pengikutnya. Aku dapat memastikan itu karena ternyata bukan hanya diriku yang mengalami kebingungan itu, banyak yang akhirnya terpental juga, padahal dahulu mereka adalah pribadi-pribadi yang sangat berintegritas dalam mngusung ideologi tersebut.

    Kefanatikan yang tidak berdasar pada sumber yang benar,menimbulkan sikap-sikap ekstrim dalam bermasyarakat. Sikap hati merasa diri dan komunitas yang paling benar, sementara yang lain salah mengkristal  dalam paradigma yang berakibat mengkristal juga dalam sikap.Sikap bahwa barangsiapa "berdiri" di luar komunitasnya maka tidak dijamin berada dalam kebenaran, seluruh amal shalehnya sia-sia. Kefanatikan yang telah membawa pada sikap-sikap penghakiman atas manusia lain bahwa mereka berada diatas kesalahan, apapun yang diusahakannya sekalipun dia mengaku muslim. Sesuatu yang membuat hati miris, sedang kita tahu dan mereka sendiripun menyadari bahwa mereka tidak maksum, namun dengan mudah menilai orang lain golongan dzalim, fasik bahkan kafir.

    Sikap fanatisme ini menutup pintu keterbukaan atas masukan-masukan dari "luar" komunitasnya. Bahkan  Saya teringat pada artikelnya mas Roni Djamaludin dimana hal tersebut diatas disebutnya sebagai penyakit persepsi. Di salah satu paragrafnya tertulis :

    Kebiasaan ini kalau dibiarkan berlanjut, dapat memperparah endemi “penyakit persepsi” yang selama ini ada. Menyuburkan sikap diskriminatif satu sama lain, karena cenderung melihat kelebihan (kemampuan) seseorang (mungkin juga kelompoknya) dan memandang remeh yang kebetulan tidak punya kelebihan. Bisa menimbulkan faham-faham baru yang pada saatnya nanti bisa berubah menjadi “bom waktu”. Pada gilirannya, dapat merongrong nilai-nilai kebenaran, yang notabene satu-satunya pemiliknya adalah Tuhan sendiri (Al Haq min Rabbika).

    Tidak mudah mengakui hal ini jika kita masih berada di dalam pusarannya, karena doktrin-doktrin "lembaga" terus ditanamkan dan apalagi jika kita sendiri sudah berada pada level pemberi doktrin kepada para junior. Walaupun dalam hati kecil sudah merasakan banyak kejanggalan namun apa daya, sebagai motivator kita harus tetap dalam "posisi yakin dan meyakinkan". Disinilah faktor 'Hati Nurani' sangat dibutuhkan, pada saat sensor nurani kita telah membunyikan signal ketidak beresan maka kita harus bersiap dan bersegera menentukan pilihan. Bukan dengan mengabaikannya karena takut dengan pendapat orang atau menyayangkan keberadaan kita yang sudah bertahun-tahun disana. Karena nurani kita bersifat hanif, cenderung pada kebenaran, maka dengan pertolongan Allah walaupun terasa sulit DIA akan menunjuki caraNYA.

    Darimana kita bisa tahu sensor hati nurani telah mengirimkan tanda? Jawabnya adalah pada saat kita merasakan ketidaksesuaian antara yang dipropagandakan dengan yang dilaksanakan. Ketidaksesuaian antara doktrin-doktrin yang dipancangkan dengan kenyataan di lapangan. Pada saat kita merasa ayat-ayat Allah telah menjadi alat pelegalan untuk memanipulasi  hak-hak manusia khususnya sesama muslim. Hanya perkenan Allah saja yang telah menolongku. Alhamdulillah, Allah memberi jalan bagiku dan keluarga untuk bisa keluar dari situasi itu.

    Oleh sebab itu walau aku telah belasan tahun "tumbuh" dalam didikan dan bentukan komunitas itu, namun kini Allah terus menambahkan dan menambahkan banyak hikmah dan kesempatan yang luas kepada saya dan keluarga untuk menghargai kehidupan ini, menjalaninya dengan sungguh-sungguh dan profesional di bidang kita masing-masing namun disertai dengan senantiasa mendzikiriNYA, menjadikanNYA maksud dan tujuan akhir perjalanan kita di dunia ini, menjalani qudrah iradahNYA dengan taqwa sebagai pancatan/tangga agar dapat pulang dengan selamat kembali kepadaNYA.

    Hmm kuseruput tetes kuah terakhir mie instant-ku, ternyata ada nikmat Allah yang bisa kurasakan juga dalam makanan yang selalu kuanggap tidak sehat ini. Jangan-jangan aku pun sudah terkena sindrom penyakit persepsi, mengamini kata banyak orang bahwa mie instant itu penyebab penyakit kanker karena bahan pengawet dan MSG-nya. Padahal kalau dikonsumsi secara bijak dan tidak berlebihan, mie instant bisa juga menjadi teman.

    Kunikmati malamku dalam kesederhanaan dengan semangkuk mie instan.
    Alhamdulillah

    Saturday, July 10, 2010

    Bukan Ibu Luar Biasa

    Bismillahirrahmaanirrahiim

    Hampir 2 minggu hiatus dari blogging, namun tidak berarti itu pertanda aku berhenti menulis, walau hanya sekedar niat. Tapi berhubung alat menulisku seperangkat komputer manual yang tidak mobile, maka niat menulis itu harus menunggu kesempatanku muncul kembali.

    Ya, selama hampir dua minggu itu hari-hariku dipenuhi scene kehidupan yang cukup menguras waktu, tenaga dan fikiranku. Namun hikmahnya, waktu,tenaga dan fikiran yang terkuras banyak itu menyisakan intisari yang berharga dalam kesadaranku. Kesadaranku akan kefakiran diri, kefakiran semua makhluk Tuhan.

    Menyaksikan anak yang dikandung,dilahirkan dan diasuh dibesarkan;  menderita saat dibalut penyakit adalah suatu kepayahan besar untuk seorang ibu.

    Rahma, selama sekitar 7 hari anak bungsuku yang masih berusia 2 tahun itu demam tinggi. Selama itu pula ia tak mau lepas dari gendonganku siang dan malam, kecuali jika ia benar-benar kelelahan dan tertidur. Namun selama mendapat demam, tidurnya tak pernah bisa nyenyak dan lama. Baru terlelap satu jam, ia akan terbangun lagi dan menangis mencari umynya ini untuk dipeluk dan digendong, mencari kenyamanan dari penyakitnya, walau hal itu tak bisa ia temukan jika panasnya tak juga reda.

    Selama satu minggu itu merasakan perubahan suhu dibadan buah hatiku adalah kekhawatiran dan kesedihan. Aku tahu putriku kelelahan juga dan menginginkan istirahat yang cukup walau itu tak ia mengerti. Semua itu membuat kemurungan dalam hari-hariku. Sedang kakaknya Rahma juga membutuhkan perhatianku. Suatu dilema yang tentu dirasakan orang tua lain juga. Tetapi aku bersyukur masih diberi bisa bahagia melihat anakku yang lain sehat dan ceria.

    Sehabis satu minggu itu ditemani naik turunnya suhu badan Rahma, kami meningkatkan upaya dengan memeriksakan darahnya ke sebuah laboratorium di kota kami. Disana kepedihan hatiku bertambah lagi, menyaksikan pembuluh bayiku ditusuk jarum yang berulang-ulang karena Rahma berontak dan menangis menyebabkan jarumnya  terlepas lagi. Hatiku menangis mendengar jeritannya, namun tak ada jalan lain untuk mengetahui penyebab demamnya, akhirnya dijalani juga.

    Hasil pemeriksaan darah di laboratorium menggembirakanku sesaat, test DBD dan widal untuk penyakit thypusnya negatif. Namun HBnya kurang dan LED (Laju Endap Darah)nya sangat tinggi menandakan ada infeksi di tubuhnya. Dengan berbekal hasil lab itulah kami memutuskan membawa Rahma ke Rumah Sakit. Disana dokter juga merekomendasikan agar Rahma dirawat karena sudah terlalu lama panasnya tidak turun.

    Disanalah kegetiranku muncul kembali satu persatu. Dimulai dengan keharusan untuk Rahma mendapat suntikan infus. Hati menangis lagi, saat mataku melihat mimik ketakutannya, saat telingaku mendengar jeritannya dan saat tanganku merasakan berontak tangannya. Menusukkan jarum infus ke tangan anak kecil bukanlah hal yang mudah nampaknya, apalagi anak kecil yang ketakutan dan berontak keras. Berulang kali jarum itu berhasil merobek pembuluh anakku, namun berulangkali gagal menancap dengan benar menyebabkan harus terjadi penusukkan yang berulang kali lagi. Subhanallah....betapa tak berdayanya aku menerima hal ini.

    "Penyiksaan" Tindakan medis itu kembali terjadi di ruangan rawat, saat anakku harus kembali menjalani serangkaian tes darah plus tes manthoux. Rabby, aku ingat saat itu melihat anakku bagai melihat seorang ibu hendak melahirkan. Tubuhnya menggeliat, wajahnya mencerminkan kesakitan luar biasa. Dalam waktu yang sama sejenak setelah dibangunkan dari tidurnya, perawat menggunakan jarum untuk mengambil darahnya untuk keperluan test Salmonella, dan dengan jarum lainnya perawat menusuk dan mengangkat kulitnya untuk uji manthoux.


    Ya Allah...
    Aku bukan ibu  luar biasa, yang tegar menyaksikan anakku menderita. Aku bukan ibu luar biasa yang tak akan pilu mendengar teriak kesakitan mutiara kecilku. Aku juga bukan ibu yang hebat tanpa rasa lelah, kantuk dan penat. Namun aku ibu yang merasa masih diberikan Allah kekuatan untuk bisa selalu menemani dan memeluk buah hatiku didalam gelombang derita fisik dan psikisnya. Cinta yang Allah siramkan kepadaku baginya mengokohkan tekadku untuk selalu berada bersamanya.


    Bersyukur tak terhingga saat masa-masa itu berlalu sedikit demi sedikit. Perlahan, suhu tubuhnya mendekati normal, semakin lama semakin baik hingga normal sama sekali. Walau dengan jarum infus tetap menancap di tangannya, kutemukan lagi keceriaannya, kelucuannya, kepintarannya. Rahmaku sangat antusias saat disodorkan kepadanya sebuah buku dan ballpoint untuk menggambar, sesuatu yang sangat digemarinya di rumah.


    Ya Allah...
    Aku bukan ibu luar biasa yang tak meleleh menyaksikan Rahmaku kembali tersenyum dan mengajakku bercanda. Aku juga bukan ibu yang hebat yang bisa terus mensyukuri walau penderitaan tengah mendera anak-anakku. Aku bukan ibu luar biasa yang tak terlonjak senang saat mendengar hasil semua tes darah untuk DBD, Thypus dan Mantouxnya seluruhnya negatif. Aku juga bukan ibu luar biasa yang tak bahagia melihat jarum infus itu akhirnya dilepas dari tangan mungilnya.


    Aku hanya ibu biasa yang mengharapkan segala sesuatunya "baik-baik saja" untuk anak-anaknya, melihat mereka sehat, tersenyum dan bahagia.


    Ya Allah...
    Aku bukan ibu luar biasa, tetapi aku ingin menjadi ibu yang dapat mengantarkan anak-anakku sampai kepada MU dan menghisap keridhoanMU di syurgaMU. Untuk itu, aku akan berusaha menjadi ibu yang seperti anak-anakku harapkan, yaitu Ibu yang luar biasa yang dapat bersama-sama mereka saling menjaga dalam lautan dinamika kehidupan ini, saling mengingatkan saat kekhilafan, saling mendukung dalam kebaikan dan kebenaran, saling mendo'akan dalam kasih sayang Tuhan semesta alam.

    Dalam tasbihku, kubisikkan tekadku...
    Aku ingin menjadi Ibu yang luar biasa (setidaknya bagi anak-anakku).

    Allahumma amiin


    Saat tanda-tanda baik itu diperlihatkan dan Allah menghadiahkan kebahagiaan di hatiku





    Saat-saat menjelang pulang