Pada suatu hari di daerah Bandung bagian selatan, seorang ibu tua dengan berjalan terseok-seok, membawa tubuhnya yang ringkih karena penyakit reumatik yang dideritanya bertahun-tahun ….
Seperti hari-hari sebelumnya selama belasan tahun berkeliling dari perumahan satu ke perumahan yang lain, kadang-kadang menyusuri pemukiman kumuh melewati gang-gang sempit menjual makanan hasil olahannya sendiri ‘Gemblong’ namanya makanan daerah terbuat dari tepung ketan hitam dibalut gula merah, yang disimpan di dalam sebuah baskom kaleng berukuran besar.
Dibawanya diatas kepalanya yang beralas kain sambil meneriakkan dagangannya di setiapkali melewati rumah-rumah atau tempat-tempat dimana terdapat ramai orang.
Kulitnya yang berkerut dimakan usia dan menghitam terbakar matahari setiap hari, menunjukkan ketabahannya menjalani taqdir yang dikehendaki Tuhannya.
Hidup sebatangkara di rumah kontrakan sangat sederhana yang ia bayar sendiri dari penghasilannya berjualan gemblong. Anak laki-laki satu-satunya sudah sangat lama tak pernah lagi menjenguknya atau sekedar menanyakan kabarnya sejak meninggalkannya merantau ke Papua bertahun-tahun yang lalu. Sedang seorang anak perempuannya, walau tinggal sekota tidak dapat menolongnya karena kerasnya kehidupan yang menghimpitnya.
Maka tinggallah sang Ibu sebatangkara di tengah ganasnya persaingan usaha mencari nafkah untuk kehidupan. Bertahan dengan penyakit yang ia derita karena tak sanggup untuk membayar dokter untuk berobat,walau jarak rumah kontraknnya ke puskesmas hanyalah tujuhpuluh langkah saja.
Hari itu hari yang sama dengan hari-hari sebelumnya, matahari tepat di atas ubun-ubunnya.
Panas menyengat kulit tangannya yang memegang erat dagangannya dan menempel di pinggangnya. Gemblong jualannya masih tersisa separuhnya. Langkahnya gontai…semakin lama semakin lemah,hingga terduduk ia di pelataran masjid besar di sebuah perumahan. Dibelinya segelas minuman mineral yang terasa kesat di lidah tuanya.
Dalam sisa tenaganya, sang ibu tua penjual gemblong itu melangkah perlahan mengambil air wudlunya, perutnya belumlah terisi nasi sejak pagi, hanya sebuah gorengan dan lontong dari warung langganannya yang sanggup ia beli. Kepalanya sedikit pusing,sesuatu hal yang sudah biasa ia rasakan sejak muda, maka tak ia hiraukan. Tetapi tubuhnya semakin lemah saja,maka sembahyang pun ia lakukan sambil terduduk di sudut belakang masjid.
Tak seorang pun jama’ah masjid yang memperhatikan perempuan itu, kecuali seorang bapak tua penjaga mesjid yang setiap hari merawat dan membersihkan masjid *Marbot Masjid*. Ia sudah sangat mengenal perempuan tua itu karena setiap dzuhur ia selalu shalat dan beristirahat di tempat itu.
Bapak marbot tersebut memperhatikan sang ibu tua yang masih terduduk bersandar di dinding masjid. Mukenanya belumlah ia lepaskan,namun saat ibu penjual gemblong itu melihat bapak marbot sedang melihat ke arahnya, dengan lemah ia berusaha melambaikan tangannya meminta supaya dia mendekat. Rupanya bapak marbot itu menangkap maksudnya,maka diapun mendekat.
Tak lama setelah bapak marbot itu berada dihadapannya,si ibu berkata kepadanya:
”Bapak yang baik, bolehkah saya meminta tolong Bapak sekali ini saja?”. Bapak penjaga masjid itu terdiam, ia mengira si ibu penjual ini sedang tidak enak badan :
”Baik Ibu, Ibu ada keperluan apa?”
Ibu tua itu mengeluarkan sesuatu dari balik mukenanya, selembar uang Lima Ribu Rupiah, lalu diserahkannya kepada bapak itu dan berkata:
”Saya menitipkan kepada Bapak uang ini untuk Sari di kampung Baru dekat sini,bilang sama dia jualan saya belum habis terjual,saya cuma bisa kasih segini. Tolong ya pak,dia butuh uang ini”.
Bapak marbot menerima selembar uang Lima Ribu rupiah itu dengan hati bertanya-tanya, namun saat matanya menoleh kepada sang ibu tua itu hendak bertanya lebih lanjut , sang ibu sudah terpejam matanya, nafasnya tiada lagi.
Innalillaahi wa innaailaihi raaji’uun…sang penjual sederhana tersebut rupanya telah wafat, masih terbungkus pakaian sembahyangnya.
Gemparlah seisi masjid , demikian pula warga perumahan itu. Sang penjual tak memiliki sanak saudara, maka hanya warga perumahan itulah yang mengurus jenazahnya.
Tiga hari setelah wafatnya Ibu penjual gemblong itu, bapak marbot mencoba melaksanakan wasiatnya. Ia pergi menuju tempat yang ditunjukkan sang penjual. Seharian ia mencari, bertanya kepada orang-orang dimanakah wanita bernama Sari itu tinggal.
Akhirnya,setelah pencarian yang melelahkan bertemulah ia dengan wanita yang dimaksud.
Berceritalah bapak penjaga masjid itu kepada Sari pertemuan terakhirnya dengan Ibu penjual gemblong itu di masjid. Maka meledaklah tangis wanita yang bernama Sari itu. Marbot bertanya dengan hati-hati:
”Maaf Nak, apakah Ibu itu ibumu?”
Sari kembali tersedu, namun ia menggelengkan kepalanya lalu ia berkata:
” Bukan pak, bukan ibu kandung saya, tapi saya menganggap beliau ibu saya sendiri. Kami sama-sama hidup dalam kekurangan, Ibu kasihan kepada saya karena anak saya banyak, suami saya meninggal karena kecelakaan dua tahun yang lalu. Setiap hari, Ibu itu datang ke tempat saya dan memberi saya uang sepuluh ribu rupiah, katanya untuk nambahin keperluan anak-anak. Waktu saya tolak, karena saya tahu ibu pun orang miskin, beliau menjawab:
”Nak Sari, biarlah ibu bisa menabung sedikit kebaikan dari rejeki ibu. Ibu kepingin ketemu Tuhan nak. Kalau Ibu kasih uang ini buat anak-anakmu, mudah-mudahan Tuhan “seneng” dan mudah-mudahan Tuhan pengen ketemu sama Ibu nanti”.
Sari tak kuat lagi menahan tangisnya, begitupun sang marbot tua itu. Rupanya, di hari wafatnya,ibu itu masih berusaha menggapai cita-citanya ingin bertemu Tuhan kelak dengan mensedekahkan hartanya yang sangat sedikit dalam perhitungan manusia walau hanya dengan separuh penghasilannya.
Sungguh terpuji hati dalam jiwamu yang hina dipandang orang...
Semoga engkau benar-benar sudah bertemu Tuhan kini, Ibu.
*Terinspirasi dari sosok yang benar-benar ada dan saya kenal di Bandung*