Tulisan ini pernah saya posting di Facebook tanggal 31 Agustus 2010, saya muat kembali disini semoga lebih membuka mata kita bahwa banyak perso'alan yang lolos begitu saja dari pengamatan dan kepedulian kita.
Menyimak berita tahun lalu
Berita di bulan september 2009 mengenai: Panja RUU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) DPR RI dengan pemerintah menyepakati kenaikan tarif pajak barang mewah (PPnBM) dari 75% menjadi 200% dalam UU PPN dan PPnBM yang baru. Akan tetapi Panja DPR belum memutuskan mulai berlakunya UU ini. "Tapi ada 2 alternatif, 1 Januari 2010 atau 1 April 2010".(detikfinance.com, Senin, 14/09/2009)
Lalu googling mencari definisi tentang barang mewah yang hasilnya adalah :
Empat kategori barang mewah itu adalah
1. barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok,
2. barang itu yang hanya dikonsumsi masyarakat tertentu,
3. barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
4. barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status
Untuk sesaat, keterhubungan kedua point diatas tidak menggangguku, namun mengetahui kemudian bahwa ada barang yang amat penting dan termasuk barang primer bagi masyarakat yang tersentuh oleh peraturan PPN dan PPnBM diatas membuatku cukup geram akhirnya.
Terkait dengan judul di atas, berdasarkan data dari Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) , yang bunyinya sebagai berikut :
Prevalensi anak tunarungu di Indonesia berdasarkan data statistik Departemen Pendidikan Nasional Indonesia menunjukkan bahwa jumlah anak-anak tunarungu di Indonesia cukup tinggi mencapai 0,17%, dimana 17 dari 10.000 anak prasekolah sampai umur 12 tahun mengalami tuli, maka jumlah itu cukup besar dan menuntut perhatian.
Bagaimana tidak membuat sedih, dalam sebuah jurnal di Multiply seorang penyandang Tuna Rungu menuliskan bahwa Alat Bantu Dengar yang bagi mereka merupakan barang primer yang bisa membantu mereka keluar dari dunianya yang sunyi telah dimasukkan dalam kategori barang mewah, sehingga di pasaran Alat Bantu Dengar ini (ABD) bisa mencapai harga jutaan. Bahkan ada seorang ibu berkomentar di threadnya mengatakan bahwa harga ABD untuk satu telinga anaknya senilai enam juta rupiah, berarti untuk dua telinga sang ibu harus mengeluarkan uang sebanyak dua belas juta rupiah, sebuah harga yang fantastis bagi kebanyakan rakyat yang menyandang kurang pendengaran di negeri ini yang mayoritas bukanlah dari kalangan orang-orang kaya. Bahkan ada informasi lain harga sepasang ABD ada yang mencapai 34 juta rupiah, subhanallah.
Memang sampai saat ini ABD masih merupakan produk import sehingga ada yang memaklumi ketinggian harganya di pasaran, tapi kalau harus ditambah lagi dengan besarnya pajak yang harus ditanggung, alangkah menyedihkannya. Masalahnya apakah benar ABD masuk dalam kategori barang mewah yang ditetapkan nilai pajaknya ?. Bagi penyandang tuna rungu, memiliki ABD bukan untuk gaya-gayaan, mereka memerlukannya sebagai telinga pengganti untuk bisa mendengar dan belajar dan bekerja seperti manusia lainnya.
Ada perdebatan juga bahwa ternyata, untuk ABD tidak ada peraturan berkaitan dengan hal ini, alias tidak ada pajak untuk ABD. Namun dalam thread teman saya itu ada orang yang berasal dari kantor pajak yang justru mempertegas keberadaan pajak itu atas ABD. Jadi, yang mana yang benar ? Apa orang pajak itu yang tidak tahu peraturan mentrinya tapi dengan seenaknya menetapkannya kepada masyarakat yang tidak mengerti ? atau adakah jawaban lainnya ?
Jika harus digambarkan betapa sedihnya Ibu dan Ayah saat mengetahui anaknya menderita kelainan alat pendengaran, terbayangkan masa depannya harus bergantung terus kepada orang lain. Bayi yang sejak lahir telah menderita kelainan alat pendengaran, bisa dipastikan jika tidak menggunakan ABD, maka ia tidak akan bisa belajar bicara. Ini membuktikan bahwa seperti fungsi kacamata bagi penderita rabun mata, maka fungsi ABD juga amat penting bagi penyandang tuna rungu.
Banyak kisah saya baca tentang para penyandang tuna rungu atau tuna netra yang memilik prestasi yang hebat. Dengan support alat-alat bantu seperti ABD ini mereka bisa hidup selayaknya manusia normal lainnya, mampu memiliki karir dan beraktivitas seperti manusia lainnya. Tak ada yang tahu, barangkali lewatsumbangsih mereka juga negeri ini bisa menjadi lebih baik.
Semoga para dhu'afa tidak semakin terpinggirkan di negeri ini
PS :