Monday, April 25, 2011

Ketika Dia Berkata-Kata

Aku kembali terpaku
Hanya mampu diam membisu dan berlalu
Sedang kau masih bergelut dengan deritamu
yang menyayat-nyayat setiap sel-mu


Merintih...Walau dalam diam yang tertahan
Sering kau tak hendak menyusahkan orang
Namun kau harus menyerah saat keterbatasanmu memintamu tuk mengemis sedikit pertolongan



Tiada yang pernah mengerti inginmu
Walau kata simpati mengalir sungai ke arah pembaringanmu
Hanya kau sendiri yang mampu menterjemahkan derita itu
Dan menduga-duga, kapankah ini akan berlalu



Saat Dia berkata-kata dalam sunyimu
Melalui perih pedih di tubuh rapuh
Dan dakwa para cendekia menampar keras khawatirmu
Seakan hidup hanya mereka yang tahu


Kau merangkak mencari-cari sinar
Kemana kiranya tanganmu dapat  menggapai
Sedikit saja kesempatan
Tuk dapat sekedar menjangkau lebih banyak kebaikan


Terisak...
Tersedu.....
Menampak lemah diri di hadapan jagad QudrahNYA
Betapa kepandaian tak mampu menolong
Betapa limpahan harta tak dapat membantu
Betapa kerupawanan tak dapat membebaskan



Silih berganti siksa itu
Mengiris-iris setiap jengkal ragamu
Mencabik-cabik kekuatanmu
Hampir-hampir menghabiskan tabahmu



Namun kau  terus bertahan
Di samudra dzikirmu kau temukan titian
Yang membawamu pada fana
Ada DIA selalu bersama


Tak hirau kecamuk derita
Kau terus melafal Ar-Rahman
Bahwa tiada nikmatNYA yang dapat kau dusta
Telah meliputimu sekian lama


Melarung keluh dan putus asa
Ke lautan ikhlas dan kesabaran
Berharap tercerahkan



Saat Dia berkata-kata dalam sakitmu...
Dia menatapmu
Dia tak pernah melupakanmu
Dia menyayangimu...







Didedikasikan untuk para penderita penyakit kanker, yang kini tengah berjuang dalam lautan kesabaran dan ikhlasnya.
Semoga Allah yang Maha Menyembuhkan mengabulkan do'a-do'anya.

PS : Image taken by Google (Link : disini )

Wednesday, April 20, 2011

Wanita Di Persimpangan Jalan

Ini kisah usang tentang wanita
Tak didengungkan hadirnya namun terwarta
Menyibak tirai malu-malunya
Wanita ...
Memilih jalannya di persimpangan



Tak serupa rayap tak bermata
atau lemah sarang laba-laba
Wanita dikarunia berkah tak habis-habisnya
Tuhan sembunyikan dibalik lembut senyumnya



Sejak mula menjadi buah hati keluarga
Dikasihi Ibu dimanjakan Bapak
Ditimang disayang disanjung raga
Dididik santun berbudi bahasa


Anak wanita menjadi barang berharga
Tak izin seseorang mencacat eloknya
Jika datang lebah mendekat
Ayahpun garang tak boleh izinkan lekat


Beranjak tumbuh bagaikan bunga
Wanginya harum memancarkan aroma
Gemas orang hendak memetiknya
Wanita...
Selalu mengundang Sirama-rama


Banyak terkandung cita-citanya
Ingin terbang memuliakan karunia
Cerdik pandai dalam genggamannya
Wanita...berkibar sayap-sayapnya
Telah siap menaklukan dunia



Namun "dunia" tak selalu ramah padanya
Baik harapan tak selalu sebanding pada kenyataannya
Wanita dipaksa keluar dari kodratnya
Tanpa maunya Tanpa inginnya



Siapakah mereka yang berdiri di bebatuan cadas ?
Memukulkan palu menghancurkan batu keras ?

Siapakah mereka yang mengemudi ojek, becak dan sepeda ?
Walau penat menghantam tetap berlapang dada ?

Siapakah mereka yang mengais-ngais di timbunan sampah ?
Agar dapat membeli susu anaknya dan sekedar beras berharga murah ?

Siapakah mereka yang menjadi buruh bermandikan peluh ?
Merelakan diri, menjadi hamba disuruh-suruh

Siapakah mereka yang mengangkut karung-karung berat tuk  mengharapkan upah ?
Tak cukup rihlah tak cukup melepaskan lelah.

Siapakah mereka tergeletak di sudut-sudut jalan ?
Menghinakan diri menadahkan lengan

Siapakah mereka wanita-wanita tua  memikul nampan di kepala ?
Menjaja dagangan tak perdulikan renta

Siapakah mereka menyapu jalanan di pagi buta ?
Memungut sampah mensucikan kota

Lelah, sakit, lapar....
Di terik siang atau tajamnya angin malam


Mungkinkah  itu ibuku ?  mungkinkah itu saudara perempuanku ?
Allahu......
Mereka hamba-hambaMU
Sama mengharap lembut pertolonganMU


Di tanah kembara pula wanita menjela
Di tanah peperangan wanita juga berada
Diancam, dihina, disiksa, dianiaya
Tak pandang umur tak pandang usia
Raga dicacat
Jiwa diluka
Wanita, tak henti dibuat lara


Entahlah lagi bagi kaum ini
Berlenggak-lenggok kesana kemari
Ingin membuktikan kecantikan diri
agar dipuja para lelaki


Mengais rezeky di malam hari
Menawarkan kehangatan diri
Demi setangkup rupiah
Harga diri dibuat murah



Tesssssss...........


Gerimis basahi paras
Hampir-hampir padamkan lentera
Menggenggam sekeping bara masih menyala
Mungkin masih bisa hangatkan sudut jiwa
Terbata-bata memeluk kesucian makna


Wanita, di persimpangan jalan

Friday, April 15, 2011

Rindu Hujan



Selamat malam hujan...
Baik sekali kau mau bertandang
Mungkin kau dengar keluh Soka di sudut pagar
Atau ceracau kesah burung-burung  liar



Kau tahu aku asyik mendengar rincik airmu
Menerpa satu persatu  atap rumahku
Kususun ketukan diantara irama hujan
Agar dapat kuciptakan sebuah langgam



Hei...
Mengapa curahmu memelan ?
Ayo teruskan aku membutuhkanmu kawan
Nyanyian ini belum lagi selesai bukan ?
Aku tahu janganlah kau berkilah teman



Datanglah lebat temani malamku
Aku suka mendengar rintik curahmu
Andai tiada yang memilikimu
Kan kupeluk tak kubiar kau menjauh



Hufft....
Kini kau benar-benar berhenti menari
Tak kau lihat hatiku telah bersedih ?
Menahan rindu menerka kapan kau akan kembali
Hujan, sungguh kau tega sekali


:((((



Illustrasi dipinjam dari sini

Wednesday, April 6, 2011

Ini Bahuku ...

Mengapa kabut itu kini selalu bersemayam disana
Di ruang lekat matamu yang nanar
Entah apa yang ingin kau gapai
Antara ada dan tiada....



Mengapa tak kulihat lagi tegar itu
Yang telah mengawalmu berwarsa-warsa
Menciduk kegagahanmu yang kentara
Merampas pedulimu pada masa



Dahulu kau teguh berdiri
Di gurun ujian kau tetap berlari
Mendaki tebing  cobaan nan tinggi
Badai ganas tak kau biarkan hanya dengan menanti



Kini kau hanya terdiam mendura
Desah gelisahmu menyesakkan jiwa
Sedang ragamu kini telah digerayangi renta
Diantara bising memekakkanmu dalam ruang telinga




Usah kau angkat beban itu sendiri
Ini bahuku untuk tempat bersandarmu kini
Agar ringan kembali kakimu melangkah
Dan dapat kulihat lagi senyummu mencerah



Ini jiwa ragaku selalu bersedia
Kapanpun kau inginkan maka panggilah "dia"
Sebagaimana dahulu kau telah bersiap siaga
Mengiring- membimbingku kemanapun kusuka



Usah kau simpan resah itu terlalu lama
Ada cahaya kemilau di depan sana
Bersama panduanNYA kita akan menggapainya
Sehingga sampai dalam agung CahayaNYA



Kusampaikan ini dengan sepenuh takzim
Atas setiap tetes darah dan peluh yang telah kau semaikan
Menjadi nadi yang terus berdenyut di ruang ragaku
Menjadi dzikir yang terus melantun di jagat dadaku
Melangit di semesta peristiwa
Menjadi kenangan yang tak pernah usai
Yang akan terus kukhidmati
Sebagai tanda kasihku padamu
Ayah....



Wednesday, March 30, 2011

Sumedang Larang

Tanah merah saga
Tak menyisakan langitnya jingga
Sang kujang tercerabut dari sangkurnya
Entah siapa yang diincarnya


Sumedang sedang garang kini
Cadas-cadasnya memanas terbakar entah
Apakah surya telah tak seramah dahulu ?
Saat Tajimalela belumlah menjadi legenda


Menelusuri tanah para Hyang
Menapak tilasi reruntuhan Pajajaran
Larut...
Tenggelam...


Nun jauh disana


Bumi pasundan anggun membentang gaun kabutnya
Hijau permadani mahoni dan jati masih menyelimuti perbukitan
Tempat laras degung menari-nari di pematang sawahnya
Dan gelik kecapi suling memanggil-manggil dari cikahuripan


Sungai Cipeles beriak gemintang airnya
Gemericiknya di sela-sela bebatu mengelus-elus jiwa
Tempat putri-putri galuh berendam kesejukan
Bertabir kain dari tatapan pangeran-pangeran Sunda


Setiap kerikilnya pernah menjadi saksi
Saat Ratu Harisbawa telah jatuh hati
Kepada Prabu Geusan Ulun diperuntukkan kidung-kidung cintanya
Membakar jiwa sang Panembahan
Memantik api peperangan


Tak habis-habis kisah Sumedang Larang
Romantika terus berkelindan di bumi parahyangan
Menjerang ingatan
tak hendak dilupakan


Kupungut setangkai bunga perdu
Nanar...
Memandang tanah Pasundan....

Saturday, March 26, 2011

Belajar Dari Yang Papa

Setiap berjalan-jalan di pagi hari, aku selalu mengambil rute tertentu. Melewati rute itu banyak pemandangan menarik yang bisa kulihat. Dua diantaranya yang paling kusukai adalah pemandangannya yang masih alami, karena masih terdapat pesawahan dan perkampungan yang sejuk.


Setiap jalan pagi seperti itu, ada satu spot tertentu dimana aku sering berpapasan dengan seorang anak lelaki kira-kira berusia 12 tahunan. Perawakannya kurus, tidak terlalu tinggi untuk anak seusianya dengan pakaian seragam merah putih yang lusuh dan sepatu yang sudah robek di bagian jarinya.


Setiap berpapasan dengan  anak lelaki itu selalu saja ia dalam keadaan sedang mengusung karung di kepalanya dengan ditahan oleh dua tangannya yang kurus. Beban itu nampak berat, terlihat dari cara berjalan anak itu yang tersendat-sendat. Aku perkirakan isinya adalah bahan-bahan sayuran melihat tonjolan-tonjolan yang menyembul di kain karungnya.


Suatu hari, aku melihatnya lagi, arah perjalananku dan anak itu sama, aku berjalan di belakang anak itu tapi bisa cepat menyusulnya karena aku tidak membawa beban apapun. Aku segera bertanya :


Aku :"Dek ini bawa apa ? berat ya"

Semula  hendak menawarkan diri untuk membantu mengangkat karung itu, tapi aku khawatir dia sungkan atau malah ketakutan ditanya oleh orang yang tidak dikenalnya,namun ternyata anak itu mau menjawab.

Anak : "Bawa sayuran"

Aku :"Sayuran buat apa ? koq banyak banget ?"

Anak :"Buat dijual"

Anak itu menjawab pendek-pendek, dan tidak lama kemudian anak itu berhenti di emper sebuah toko yang masih nampak tertutup. Aku lihat sudah ada seorang wanita separuh baya duduk disitu sedang membereskan sayuran lain yang sudah ada di depannya. Aku menduga dia adalah ibu dari anak tadi. Wajahnya nampak sendu, tidak terlalu banyak berbicara. Anaknya tanpa disuruh dengan sigap membuka isi karungnya dan mengeluarkan isinya lalu merapikannya. Sang ibu nampak berbicara beberapa kalimat, lalu memberikan dua lembar uang seribuan kepada anaknya yang nampaknya akan pergi ke sekolah.


Kebetulan hari masih pagi dan suasana nampak sepi, aku coba berbelanja sayuran disitu supaya bisa berbincang sebentar dengan wanita ini. Sambil sesekali melayani pembeli yang lain sang ibu bercerita, bahwa betul, anak yang kusapa tadi adalah anak laki-laki keduanya. Jika habis pulang sekolah, anak keduanya itu akan berkeliling kampung untuk berjualan membantu orang tuanya. Anda tahu apa yang anak itu jual ? Ulekan yang terbuat dari  batu yang ia tanggung keluar masuk kampung untuk membayar biaya sekolahnya. Bisa kita bayangkan,anak sekecil itu menanggung beban berat di pundaknya, keluar masuk kampung untuk menjualnya agar dapat membantu keluarganya keluar dari kesulitan hidup.


Ibu ini memiliki tujuh putra dan putri. Yang bersekolah ada tiga orang, anak paling tua sudah tidak sekolah, ia bekerja untuk membantu perekonomian keluarga sebagai buruh cuci setrika di rumah orang. Satu adik dari anak tadi juga sekolah sudah kelas 5 SD, sedang adik-adiknya yang masih tiga orang belum sanggup ia sekolahkan karena masalah biaya dan satu lagi anak bungsunya telah tiada karena sakit diare.


Dan yang menyedihkan adalah kenyataan bahwa  suami sang ibu ternyata sedang menderita sakit stroke yang membuatnya lumpuh sejak lima tahun yang lalu, dan pada hari aku berbincang dengannyai adalah  anak ke-limanya yang masih berusia 5 tahun sedang menderita demam.


Sang ibu juga menceritakan bahwa ia numpang berjualan di emper toko milik seorang tetangganya itu dari sejak dini hari, tapi ia harus membereskan dagangannya sebelum pukul 8 pagi sebelum toko itu buka dalam keadaan bersih. Jika selesai berjualan, pada pukul 9.00 pagi hingga pukul 14.00 ia bekerja menjadi pembantu rumah tangga di sebuah rumah milik tetangganya. Sorenya baru ia sempat menemui keluarganya untuk merawat suami dan anak-anaknya. Jika malam sudah tiba, ibu ini membuat agar-agar untuk dijual anak keduanya di sekolah, menyimpan agar-agar itu tanpa dimasukkan ke lemari es karena dia tidak memilikinya,cukup diangin-anginkan saja katanya.


Tidur adalah "barang" yang sangat mahal untuknya, karena pukul 3 pagi ia akan berbelanja bahan sayuran ke pasar untuk dijual pada pukul 5 pagi hingga pukul 8 pagi keesokan harinya. Dibantu kedua anaknya yang belum mencapai usia dewasa, keluarga ini menjalani kehidupannya dengan sabar.


Sang ibu bercerita, pernah pada saat suaminya kambuh penyakitnya dan mereka kehabisan obat, sedang tak ada orang yang bisa ia mintakan bantuan barang sedikit uang, karena sudah terlalu banyak hutangnya, ia mengemis kepada dokter tetangganya untuk menolong suaminya terlebih dahulu dan biayanya akan dibayar kemudian, tapi dokternya menolak dengan halus dengan alasan ia buru-buru akan pergi bekerja dan menyarankan kepadanya untuk pergi ke puskesmas saja. Padahal semalaman keluarga itu menunggu pagi datang, agar bisa mendapatkan pertolongannya.


Atau pada kali yang lain, anaknya yang terkecil menderita diare akut, sampai lemas badannya sedang usianya masih 2 tahun. Sang ibu bertahan hanya mencekokinya jamu dari kunyit dagangannya yang sudah hampir busuk karena lama tak belanja dan tak berjualan akibat anaknya sakit ini. Si anak tak kunjung sembuh dalam waktu satu minggu tanpa bisa dibawa ke dokter karena tak punya uang dan akhirnya anak itu meninggal di dalam pelukannya. Sungguh sakit melihat wanita ini menangis menceritakan penderitaan anak bungsunya itu.



Betapa sebuah keluarga, yang sama dengan keluarga kita, mendapat cobaan hidup seperti itu, namun tidak ada keluh kesah terucap dari bibir mereka, cermin penyesalan atas apa yang tengah mereka terima sebagai sebuah ujian dalam perjalanan hidupnya. Betapa berlimpahnya nikmat yang dirasakan orang selainnya seketika menjadi tidak berarti apa-apa di mata kurang bersyukurku, membandingkan dengan pribadi-pribadi tegar yang berserakan di hadapanku ini.



Dari mereka aku belajar tentang kesabaran dan keikhlasan. Betapapun berat beban hidup yang mereka hadapi mereka tetap bertahan demi apapun yang mereka sedang yakini. Aku juga melihat, bahwa manusia sesungguhnya dapat hidup dalam tingkat hidup yang sesulit apapun. Kita semua sesungguhnya berpotensi untuk menerima sifat sabar dan tegar serta kemampuan untuk mensyukurinya dari Tuhan. Tinggal bertanya kepada diri, apakah kita mau dan siap untuk menerimanya ?



Aku teruskan perjalananku, dan disepanjang jalan,di kiri dan kananku di pagi itu berderet-deret para wanita maupun para laki-laki yang sudah sepuh, dengan sisa tenaga dan semangatnya dalam usia tua mereka, menjajakan dagangannya. Barangkali nasib mereka tidak jauh berbeda dengan ibu yang baru saja kukisahkan. Bergumul dengan kerasnya kehidupan dan tak ada siapa tempat memohon pertolongan, kecuali kepada Tuhan satu-satunya tempat meminta.




Semoga Allah melindungi mereka
Semoga Allah-pun membuka mata hati kita
Amiin

Wednesday, March 16, 2011

Sampan Kayu Tua

Sampan kayu tua terayun-ayun
Dindingnya lemah berlubang sudah
Badai seharian ini telah mengoyak lambung rentanya
Dan burung pelikan hanya menatapnya kosong


Angin Timur masih berhembus kencang
Dan sampan kayu tua tak hendak menghentikan lajunya
Dipilihnya larik-larik gelombang yang tengah murka
Sekali deburan lagi ia akan terhempas


Lalu mengapa rindu itu masih bersemayam
Bukankah telah berlalu cinta semusim itu ?
Sedang daun-daun telah berguguran
Dan  burung gereja telah bermunculan


Sampan kayu tua menepi
Mencari-cari pasir pijakan tak pasti
Melarung jejak di lautan badai
Menenggelamkan diri di dalam sunyi