Seorang wanita yang berprofesi sebagai penjahit gorden bernama Ibu Siami dan Alif seorang putranya yang masih duduk di bangku SDN Gadel II / 577 Surabaya telah menjadi buah bibir dalam minggu terakhir ini di berbagai media, karena telah terusir dari rumah mereka akibat kemarahan wali murid yang notabene adalah masyarakat desa Gadel tetangga keluarga ibu dan anak itu.
Seluruh narasi yang kubaca menggambarkan betapa perjuangan seorang ibu yang sedang menanamkan kejujuran kepada buah hatinya menemukan batu sandungan besar yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Sekolah dimana ia telah menitipkan sang putra agar dididik dengan baik justru telah mengajarkan ketidak jujuran pada pelajaran kehidupannya saat menghadapai Ujian Nasional. Fenomena yang sesungguhnya tidak baru karena jika ditelusuri sebenarnya kejadian seperti ini banyak dan telah lama terjadi di dunia pendidikan kita.
Jika kemudian ada kisah pengecaman dan pengusiran terhadap sosok-sosok pejuang kejujuran seperti mereka maka hal itu kini telah menyempurnakan pandangan kita bahwa betapa langka dan karena itu menjadi mahal nilainya sebuah kejujuran di negri ini. Dan dari peristiwa-peristiwa seperti ini kita semakin menyadari darimana tempat berasal segala keterpurukan di negeri yang dikata orang sebongkah tanah syurga yang terlempar ke bumi.
Kita dipaksa mengerti penyebab mengguritanya kasus-kasus korupsi di negeri ini, dan segala akibat yang mengikutinya.Kita dibuat memahami, mengapa terjadi kesenjangan yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin, mengapa pembangunan terasa bergerak tanpa ruh, gedung-gedung megah bermunculan namun tidak meninggikan integritas penghuninya, kendaraan-kendaraan mewah berseliweran namun tidak memuliakan pribadi pemiliknya, teknologi semakin canggih namun tidak menghadirkan besar manfaat bagi penggunanya. Mengapa keadilan tak ditemukan di meja-meja para hakim, mengapa skandal menjadi pemandangan keseharian kita di layar-layar kaca dan plasma, dan banyak mengapa yang tak terjawab hingga detik ini.
Semua berawal dari hal mendasar yang kita semua butuhkan, yaitu ilmu. Dunia pendidikan kini terkesan telah kehilangan orientasinya, melainkan hal-hal yang dapat ditulis dan dibaca sebagai standar. Abjad dan angka kini terkesan menjadi maksud segala semangat belajar dan mengajar di sekolah-sekolah kita. Filosofi-filosofi indah dan gagah tentang pendidikan dan pengajaran telah hilang seperti asap tertiup angin. Sosok-sosok panutan yang dahulu disebut Guru, sebagai pribadi yang ucap, sikap dan diamnya layak digugu dan ditiru kini dipertanyakan.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara kini menjadi fihak yang paling diharapkan untuk bertanggung jawab dalam seluruh perso'alan ini. Dari sejak hari kemerdekaannya negeri ini tak henti dirundung kemalangan kemanusiaan walau disisi lain tak dapat dipungkiri banyak keberhasilan yang juga patut kita syukuri. Namun menutup mata dari segala kesalah kaprahan yang terjadi akan membuat negeri yang cantik dengan ribuan karunia Tuhan ini perlahan tapi pasti terus terseret kedalam jurang keterpurukan yang lebih dalam.
Saatnya kita semua bahu membahu, tidak hanya sekedar menyesali dan menangisi kegagalan, namun turut mencari solusi dan mempersembahkan sumbangsih terbaiknya walau hanya seujung jari namun berkelanjutan dan terus menerus. Dunia pendidikan sebaiknya menjadi poros utama gerakan percepatan perbaikan negeri ini. Seluruh elemen diperlukan untuk turut serta mengevaluasi, jika perlu merevisi kembali paradigmanya tentang pendidikan yang benar dan tepat untuk bangsa ini. Dan penting untuk digaris bawahi, bahwa dunia pendidikan disini tidak dibatasi oleh dinding-dinding kelembagaan formal saja. Pendidikan yang menembus batas langit ketujuh, namun juga membumi menyentuh hati mendarah daging menulang sumsum penduduk negeri.
Bahwa angka dan aksara bukanlah orientasi kita belajar dan berusaha, namun Tuhan sebagai Dzat yang paling diakui keberadaanNYA oleh sebagian besar penduduk negeri ini sepantasnya menjadi tujuan perjalanan anak negeri ini, dan membagi sebesar-besar manfaat bagi orang banyak di lingkungannya sebagai indikasinya. Ya, mendahulukan kepentingan kemanusiaan dan orang lain adalah jalan terpendek menuju keridhaan sang Maha. Hal ini akan mereduksi sifat-sifat kebinatangan yang terus bercokol dalam pribadi-pribadi baik kita. Dan kejujuran, memulai perjalanannya dari titik ini, yaitu ikhlas....suci / bebas dari kepentingan pribadi, segalanya dimaksudkan demi merebut cinta Ilahi.
Apakah tulisan ini cukup menjadi solusi ? Tentu saja tidak, bahkan jauh dari cukup. Namun setiap peristiwa seharusnya mendidik kita menjadi semakin baik. Dan kisah ibu Siami dan Alif telah terbukti mendidik bangsa ini menjadi lebih baik, setidaknya dalam pandanganku sendiri. Karena justru dengan terjadinya ironi dimana kejujuran mereka dibalas tuba oleh sebagian wali murid yang mengakibatkan mereka terusir dari rumahnya, namun seketika, segala dukungan mengalir menuju telapak kaki Ibu dan anak ini.
Seluruh media elektronik dan cetak mengangkat nama dan kasus mereka, dukungan juga terus mengalir di media jejaring sosial seperti facebook dan twitter yang jumlah pendukungnya sudah mencapai lebih dari 9000 orang hari ini. Ikatan Guru Indonesia dan Mahkamah Konstitusi termasuk lembaga yang juga menjadi bagian dari dukungan kepada Ibu Siami dan putranya ini. Alif bahkan telah mendapat beasiswa pendidikan dari beberapa institusi baik itu media elektronik maupun dari lembaga lainnya. Setidaknya masih ada harapan, bahwa kejujuran, masih banyak pendukungnya, dan apakah kita akan menjadi bagian di dalamnya ? bukan hanya pada kasus Ibu Siami saja, tetapi pada tragedi kejujuran seluruhnya di negara kita ini.
Jawabnya ada pada diri kita masing-masing, dan kejujuran telah menggugat kini.
Seluruh narasi yang kubaca menggambarkan betapa perjuangan seorang ibu yang sedang menanamkan kejujuran kepada buah hatinya menemukan batu sandungan besar yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Sekolah dimana ia telah menitipkan sang putra agar dididik dengan baik justru telah mengajarkan ketidak jujuran pada pelajaran kehidupannya saat menghadapai Ujian Nasional. Fenomena yang sesungguhnya tidak baru karena jika ditelusuri sebenarnya kejadian seperti ini banyak dan telah lama terjadi di dunia pendidikan kita.
Jika kemudian ada kisah pengecaman dan pengusiran terhadap sosok-sosok pejuang kejujuran seperti mereka maka hal itu kini telah menyempurnakan pandangan kita bahwa betapa langka dan karena itu menjadi mahal nilainya sebuah kejujuran di negri ini. Dan dari peristiwa-peristiwa seperti ini kita semakin menyadari darimana tempat berasal segala keterpurukan di negeri yang dikata orang sebongkah tanah syurga yang terlempar ke bumi.
Kita dipaksa mengerti penyebab mengguritanya kasus-kasus korupsi di negeri ini, dan segala akibat yang mengikutinya.Kita dibuat memahami, mengapa terjadi kesenjangan yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin, mengapa pembangunan terasa bergerak tanpa ruh, gedung-gedung megah bermunculan namun tidak meninggikan integritas penghuninya, kendaraan-kendaraan mewah berseliweran namun tidak memuliakan pribadi pemiliknya, teknologi semakin canggih namun tidak menghadirkan besar manfaat bagi penggunanya. Mengapa keadilan tak ditemukan di meja-meja para hakim, mengapa skandal menjadi pemandangan keseharian kita di layar-layar kaca dan plasma, dan banyak mengapa yang tak terjawab hingga detik ini.
Semua berawal dari hal mendasar yang kita semua butuhkan, yaitu ilmu. Dunia pendidikan kini terkesan telah kehilangan orientasinya, melainkan hal-hal yang dapat ditulis dan dibaca sebagai standar. Abjad dan angka kini terkesan menjadi maksud segala semangat belajar dan mengajar di sekolah-sekolah kita. Filosofi-filosofi indah dan gagah tentang pendidikan dan pengajaran telah hilang seperti asap tertiup angin. Sosok-sosok panutan yang dahulu disebut Guru, sebagai pribadi yang ucap, sikap dan diamnya layak digugu dan ditiru kini dipertanyakan.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara kini menjadi fihak yang paling diharapkan untuk bertanggung jawab dalam seluruh perso'alan ini. Dari sejak hari kemerdekaannya negeri ini tak henti dirundung kemalangan kemanusiaan walau disisi lain tak dapat dipungkiri banyak keberhasilan yang juga patut kita syukuri. Namun menutup mata dari segala kesalah kaprahan yang terjadi akan membuat negeri yang cantik dengan ribuan karunia Tuhan ini perlahan tapi pasti terus terseret kedalam jurang keterpurukan yang lebih dalam.
Saatnya kita semua bahu membahu, tidak hanya sekedar menyesali dan menangisi kegagalan, namun turut mencari solusi dan mempersembahkan sumbangsih terbaiknya walau hanya seujung jari namun berkelanjutan dan terus menerus. Dunia pendidikan sebaiknya menjadi poros utama gerakan percepatan perbaikan negeri ini. Seluruh elemen diperlukan untuk turut serta mengevaluasi, jika perlu merevisi kembali paradigmanya tentang pendidikan yang benar dan tepat untuk bangsa ini. Dan penting untuk digaris bawahi, bahwa dunia pendidikan disini tidak dibatasi oleh dinding-dinding kelembagaan formal saja. Pendidikan yang menembus batas langit ketujuh, namun juga membumi menyentuh hati mendarah daging menulang sumsum penduduk negeri.
Bahwa angka dan aksara bukanlah orientasi kita belajar dan berusaha, namun Tuhan sebagai Dzat yang paling diakui keberadaanNYA oleh sebagian besar penduduk negeri ini sepantasnya menjadi tujuan perjalanan anak negeri ini, dan membagi sebesar-besar manfaat bagi orang banyak di lingkungannya sebagai indikasinya. Ya, mendahulukan kepentingan kemanusiaan dan orang lain adalah jalan terpendek menuju keridhaan sang Maha. Hal ini akan mereduksi sifat-sifat kebinatangan yang terus bercokol dalam pribadi-pribadi baik kita. Dan kejujuran, memulai perjalanannya dari titik ini, yaitu ikhlas....suci / bebas dari kepentingan pribadi, segalanya dimaksudkan demi merebut cinta Ilahi.
Apakah tulisan ini cukup menjadi solusi ? Tentu saja tidak, bahkan jauh dari cukup. Namun setiap peristiwa seharusnya mendidik kita menjadi semakin baik. Dan kisah ibu Siami dan Alif telah terbukti mendidik bangsa ini menjadi lebih baik, setidaknya dalam pandanganku sendiri. Karena justru dengan terjadinya ironi dimana kejujuran mereka dibalas tuba oleh sebagian wali murid yang mengakibatkan mereka terusir dari rumahnya, namun seketika, segala dukungan mengalir menuju telapak kaki Ibu dan anak ini.
Seluruh media elektronik dan cetak mengangkat nama dan kasus mereka, dukungan juga terus mengalir di media jejaring sosial seperti facebook dan twitter yang jumlah pendukungnya sudah mencapai lebih dari 9000 orang hari ini. Ikatan Guru Indonesia dan Mahkamah Konstitusi termasuk lembaga yang juga menjadi bagian dari dukungan kepada Ibu Siami dan putranya ini. Alif bahkan telah mendapat beasiswa pendidikan dari beberapa institusi baik itu media elektronik maupun dari lembaga lainnya. Setidaknya masih ada harapan, bahwa kejujuran, masih banyak pendukungnya, dan apakah kita akan menjadi bagian di dalamnya ? bukan hanya pada kasus Ibu Siami saja, tetapi pada tragedi kejujuran seluruhnya di negara kita ini.
Jawabnya ada pada diri kita masing-masing, dan kejujuran telah menggugat kini.
5 comments:
begitulah..
saat ketidakjujuran dianggap biasa dan menjadi kebiasaaan..maka kejujuran akan menjadi momok..
memprihatinkan...
memang memperihatinkan keadaan negeri ini.... :( dalam banyak hal.........
Bila oknum sudah bermain di setiap lini profesi kehidupan masyarakat, maka hanya dengan kelantanganlah untuk berani memberikan pendidikkan tentang kejujuran.
Sukses selalu
Salam
Ejawantah's Blog
Semoga gurunya Alif tobat. Orang tua menitipkan anaknya kepada guru untuk dididik menjadi manusia bermartabat, bukan untuk diajari menjadi maling.
Susahnya utk berbuat jujur di negeri ini ya mbak?
Apa kabar mbak? Miss you.. Maaf baru sempat mampir lagi.
Post a Comment