Masih dini hari, dan hujan semalam belumlah usai. Bayu masih berdiri di antara rumah-rumah kumuh yang berderet-deret itu. Ada satu rumah yang menarik perhatiannya, dan telah menerbangkan perasaannya sedemikian, disebabkan pemandangan yang telah disaksikannya selama ini.
Sebuah tempat yang telah tak layak disebut rumah, disebabkan rapuhnya dan tak tentu lagi bentuknya. Air hujan telah menggerogoti setiap rangka kayunya dan melubangi atapnya. Namun telah cukup menjadi naungan seorang ibu renta yang selama hidupnya telah disibukkan untuk menjawab segala kesengsaraan dan penderitaan. Kedua putra lelakinya yang sama telah tua dan tak berdaya, disebabkan penyakit lumpuh dan keterbelakangan mental menjadi mata air cintanya yang tak pernah surut untuk tetap berjuang mencari penghidupan.
Bayu tahu, wanita tua itu setiap hari harus menimba air, mencucikan baju tetangga, dan tetap harus merawat dan menjaga putra-putranya yang telah dewasa namun tak berdaya itu. Setiap pagi ia harus mencuci dan menjemur nasi basi pemberian majikannya, agar dapat ia olah kembali untuk sekedar membayar rasa lapar perut anak-anaknya. Tak berharap lauk bercita rasa, cukuplah setabur garam atau barang kepala ikan yang dipungutnya dari kios ikan atau sayur bekas makan yang tak habis dimakan majikan.
Bergumpalan pedih di hati Bayu, menyaksi penderitaan. Hanya pemberian sedikit beras sesekali, atau sekedar rupiah tak berarti yang dapat ia beri. Cukuplah sedikit cerita dan isak tangis sang wanita tua, telah menggugah semangatnya untuk dapat tetap mengunduh kebajikan. Dimana sama berada dalam kesadarannya, bahwa tak hanya satu keluarga yang membutuhkan perdulinya. Beratus deret gubuk lainnya dengan nasib tak jauh berbeda, telah sama menyentak rasanya.
Bayu tak habis mengeluh, deretan rumah-rumah kumuh itu tak jauh berdiri dari deretan lain rumah-rumah mewah yang hanya dibatas selapis benteng batu. Namun tiada perduli barang setipis kain yang mampu menghantarkan iba para insan kaya kepada tetangganya kaum miskin papa.
Ada satu gemasnya, kepada seorang saudagar kaya yang gedungnya hanya sepelemparan batu dari gubuk nenek tua itu. Bagaimana bisa keluarga itu tak mengerti keadaan sekelilingnya. Sedang dindingnya telah menghalangi cahaya surya pada kediamana keluarga sang nenek renta. Bertahun-tahun air cucuran atap mewahnya telah mencucurkan kemalangan melalui atap bocor sang nenek. Tanpa disadarinya, Bayu terbangkan do'a kepada sang Maha Pencipta, kiranya Dia turunkan azab kepada sang dzalim tak punya rasa.
Berbulan kemudian, seperti biasa. Bayu berjalan dari rumahnya, hendak menjenguk keluarga sang nenek tua. Dilewatinya rumah mewah yang dia tak bersimpati pada penghuninya. Ada bendera kuning berkibar disana, tanda ada seseorang telah wafat di dalamnya. Bayu hanya merunduk saja, agamanya tak izinkan dia bersuka atas kemalangan orang lain walau musuh yang dibencinya.
Tak lama, sampailah ia di pintu sang nenek tua. Terkejut hati Bayu, seketika melihat sang nenek tengah menangis tersedu menyebut nama seseorang yang rupanya pemilik rumah yang tadi ia lewati yang kini telah meninggal dunia itu.
Tatkala ia menanyakan sebab, mengapa sang nenek meratapi kepergian orang itu, maka terkejutlah hatinya untuk kesekian kali, dan besarlah takjubnya, betapa rahasia Tuhan tak ada yang mengetahu, melainkan dengan izinNYA.
Dari cerita sang nenek tua, barulah Bayu tahu, betapa rupanya sang tuan kaya itu telah meninggal dalam keadaan meninggalkan banyak kenangan kepada para miskin dan orang tak berpunya. Setiap malam di sisa usianya, sang tuan selalu berkeliling membagikan makanan kepada mereka selama 10 tahun lamanya. Meminjamkan uangnya kepada mereka yang membutuhkan tanpa sepengetahuan yang lainnya tanpa jaminan dan bunga. Membayar biaya pengobatan para faqir yang sakit. Dan baru diketahuinya, tenyata sang tuan pun sering pula menolong keluarga sang nenek tua.
Dari bibir seorang keluarga sang tuan, Bayu mengetahui alasan, mengapa mereka begitu kehilangan. Di setiap siang harinya sang tuan selalu memungut sebuah batu setiap kali ia merasa melakukan khilaf dan kesalahan. Sebanyak ia lakukan kesalahan, sebanyak itu pula batu ia kumpulkan. Ketika tengah malam tiba, ia bangun dari pembaringan. Mengambil air wudhlu dan tegakkan shalat malam. Di hamparan sajadahnya, bersama tetesan air matanya, ia serakkan butiran-butiran batu itu, ia sebutkan satu persatu dosa dan kesalahannya di siang hari kepada Tuhannya. Ia adukan kelemahannya dan haturkan limpahan taubatnya. Berharap sang batu menjadi saksinya betapa ia teramat menyesali perbuatannya.
Menangis terguguk Bayu di nisan sang tuan. Betapa selama ini ia telah menjadi hakim tak punya perasaan. Mengalamatkan tuduhan tak berbukti tak beralasan. Sedang dalam Al-Qur'an yang suci telah disebutkan, seorang mu'min itu tiada kuasanya melainkan hanya saksi bagi mu'min yang lainnya. Dan Rasul itu adalah saksi bagi manusia seluruhnya. Tiada haknya, untuk menilai seseorang hanya dari sudut pandangnya saja.
Melangkah lunglai kakinya, di tangan Bayu tergenggam sebuah amanat. Sekotak uang dari almarhum sang tuan yang dititipkan keluarganya kepadanya dan permintaan maaf kepada keluarga sang nenek tua, sebagai pengganti kerugian dari akibat air cucuran atap sang tuan yang telah merusak atap keluarga nenek miskin itu.
Maha Besar Allah yang Maha Penyayang. Kebaikan itu disematkanNYA kepada siapa saja yang dikehendakiNYA.
Semoga kita, termasuk orang-orang yang dipilihNYA, untuk memilikinya jua.
Tiada kebajikan itu melainkan adalah milik dan datang daripadaNYA. Maka tiada sombong itu memiliki ruangnya.
Selamat menabur kebajikan teman-teman :)